Rabu, 23 Desember 2015



NAMA/NIM                : ROHMATUL UMAH / 1711143074
JURUSAN/KELAS      : HUKUM EKONOMI SYARI’AH / 3C

A.    Negara Modern dan Hukum Modern
Negara modern adalah Negara yang pembagian kekuasaan dan wewenangnya tersusun rapi dan berdasarkan Undang-Undang yang telah terkodivikasi dan tertulis.
Hukum modern adalah suatu peralihan dari hokum tradisional untuk mencari tatanan yang lebih baik. Hukum modern ini lahir sebagai akibat dari adanya Negara modern.
Salah satu ciri-ciri dari hukum modern adalah Asas Equality Before Law yakni asas kesamaan di muka hukum. Dan juga yang terdapat dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:” segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan pemerintahan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi di antara warga Negara baik mengenai haknya maupun mengenai kewajibannya.

B.     PengertianTermaginalkan atauTerpinggirkan
Marjinal berasal dari bahasa inggris 'marginal' yang berarti jumlah atau efek yang sangat kecil. Artinya, marjinal adalah suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil atau bias juga diartikan sebagai kelompok pra-sejahtera. Marjinal juga identik dengan masyarakat kecil atau kaum yang terpinggirkan.
Jadi kaum marjinal adalah masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat. Contoh dari kaum marjinal antara lain: Waria, Orang difabel, pengahayat kepercayaan, beretnis Tionghoa dan orang miskin. Mereka ini adalah bagian tak terpisahkan dari Negara kita.Disisni saya mengambil temaWaria.

C.     Pengalaman  Waria yang Termaginalkan oleh Hukum
Secara ekstrim, masyarakat kita seringkali hanya mengakui segala hal pada dua wilayah yang saling bertentangan, seperti hitam-putih, kaya-miskin, dan pandai-bodoh. Pada wilayah jenis kelamin dan orientasi seks pun, masyarakat secara diskrit hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan perempuan, laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan kefeminimannya. Keduanya dikonstruksikan pada posisi masing-masing, dan tidak boleh saling bertukar ataupun meramu dua jati tersebut dalam satu tubuh.
Waria, yang secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan layaknya kaum perempuan lainnya, tentunya kelompok ini, sampai saat ini masih dianggap sebagai suatu kelompok atau kaum yang menyimpang oleh sebagian besar masyarakat kita.
Sosiologi sebagai ilmu yang bersifat non-etis, tentunya mempunyai tempat dalam pengkajian kelompok ini. Dilihat dari kacamata sosiologi, kelompok-kelompk ini harus tetap diakui dan dianggap sebagai fenomena sosial sehingga patut untuk dikaji dan diteliti.
PEMBAHASAN
Dari hasil wawancara yang telah saya lakukan dengan teman-teman saya yakni, M.Stipan Bhakti Ardiyono, Wike Lusiana Piskasari, Zulfa Zumrotun Nisa’ dan Zulfatun Ulaini pada hari Senin, 21 Desember 2015 bertempat di Dsn. Pucung Anyar Ds. Bedali Kec. Ngancar Kab. Kediri kemarin kami mendapatkan banyak sekali informasi mengenai kehidupan seorang waria.
Seorang waria yang biasa di panggil Nadya ini adalah seorang waria yang kesehariannya bekerja di sebuah salon (apabila ada panggilan) dan penyanyi dangdut (apabila ada panggilan). Kami secara langsung mewawanncarai dirumahnya. Dia mengatakan bahwa menjadi seorang banci atau waria bukanlah sebuah cita-cita maupun kemauannya. Sebab dia sejak kecil memang sudah memiliki jiwa seorang perempuan walaupun fisiknya adalah seorang laki-laki. Awalnya kedua orangtuanya tidak bisa menerima perubahan anak satu-satunya. Namun karena memang itu yang membuat dirinya nyaman, lama-kelamaan kedua orangtuanya bisa mengerti dan menerima dirinya yang sekarang ini. Dia pernah mencoba menjadi seperti anak laki-laki sewajarnya, namun hanya sehari saja setelah itu dia kembali lagi seperti perempuan. Dan sejak dia kecil sering kali mengikuti lomba mennyanyi dan selalu mendapatkan juara.
Pada saat SMA dia ingin sekali melanjutkan ke sekolah kecantikan namun karena faktor ekonomi dia tidak bisa melanjutkan ke sekolahan yang dia iginkan. Lalu dia melanjutkan ke SMK mengambil jurusan Teknik Komunikasi Jaringan (TKJ). Namun karena itu bukan jurusan yang dia inginkan dan itu bukan keahliannya diajar seperti apapun tetep gak bisa. Pada saat mau masuk ke kelas 3 dia tidak bisa melunasi semua biaya sekolah dan pada saat itu pula kedua orangtuanya tidak mempunyai dana sama sekali dan dia akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah. Padahal sebelumnya dia sudah pernah mengajukan beasiswa ke sekolah, namun pihak sekolah tidak ada yang menghiraukannya dan tidak dipilih oleh pihak sekolah. Padahal dalam hal seni dia sangatlah berprestasi. Malah yang dipilih itu adalah orang-orang yang kaya. Disini lah letak ketidakadilan yang diperolehnya.
Setelah dia berhenti sekolah akhirnya dia bekerja. Alhamdulillah kalau masalah mencari pekerjaan dia tidak pernah ditolak. Namun dia belum pernah melamar pekerjaan di sebuah perusahaan karena sebelumnya dia telah menyadari bagaimana dirinya saat ini, jadi tidak mungkin melamar pekerjaan di sebuah perusahaan. Dia pernah bekerja di salon, menjadi SPG , dan bekerja di restoran sebagai pelayan yang kerjanya itu 24 jam full. Pada saat bekerja sebagai pelayan ini dia mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan kontrak perjanjian sebelumnya. Yang seharusnya dia digaji 25 ribu per hari, malah sebulannya dia hanya digaji sebesar 100 – 150 ribu saja. Karena hal itu dia langsung keluar dari pekerjaannya.
Pada suatu ketika dia dan teman-temannya waria pernah mengajukan proposal untuk meminta dana atau bantuan ke pemerintah untuk usaha salon. Agar mengurangi kegiatan seorang waria yang keluar malam hari agar mendapatkan penghasilan yang baik. Namun sampai saat ini dari pihak pemerintah tidak ada tanggapan dan tidak ada respon sama sekali. Dan dia dan keluarganya tidak mendapatkan layanan berupa BPJS dari pemerintah.
Tanggapan dari lingkungan sekitarnya adalah mereka selalu mengejek dan selalu menganggap remeh dirinya. Karena mereka beranggapan bahwa apa mungkin sih si Nadya bisa menjadi kehidupannya dengan keadaan yang seperti saat ini. Namun lama-kelamaannya Nadya bisa membuktikan bahwa dia benar-benar bisa. Dan pada akhirnya lingkungannya percaya dan sekarang menjadi cuek dan tidak mau tau.
Dia juga membahas tentang pernikahan. Menurutnya indonesia adalah negara hukum. Tentu saja aturannya sangat tegas dan ketat. Dia mengtakan bahwa di Indonesia waria bisa menikah akan tetapi itu sangat privasi, tidak ada satupun pihak yang mengetahuinya termasuk perangkat desa. Sebelumnya ada seorang waria yang menikah di bali dan disana memang diakui kalok menikah, namun hanya siri dan tidak mendapatkan buku nikah namun hanya mendapatkan surat perjanjian saja. Berbeda halnya diluar negeri, bahwa disana boleh dilaksanakan pernikahan seperti ini dan dinggap sah oleh negara dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah.
Kami juga menanyakan, “Bagaimana jika KTP di Indonesia juga mencantumkan jenis kelamin waria?”. Dia menjawab: “Menurut saya jika ada KTP seperti itu kok saya juga gak yakin ya. Namun apabila benar-benar akan diadakan KTP tersebut saya sangat setuju dan mendukung. Sebab dengan adanya identitas yang jelas seperti itu maka para waria tidak perlu panjang-panjang menjelaskan apa jenis kelaminnya. Agar waria sendiri bisa diakui dan dilindungi keberadaannya di negara ini”.
Kami juga menanyakan “Apa sih Harapan dari mbak Nadya untuk kedepannya?”. Lalu dia menjawab:“ saya ingin hidup saya kedepannya akan jauh lebih baik lagi, lebih dihargai, semoga proposal dana yang diajukan ke pemerintah untuk usaha bisa turun. Apabila bisa menikah ingin menikah, membahagiakan orangtua, dan apabila sudah sukses dan tidak bisa menikah saya ingin mengadopsi anak”. Ujarnya.
Pada 16 Oktober yang lalu kaum marjinal berharap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bisa memperhatikan hak-hak mereka sehingga nantinya tidak ada lagi bentuk diskriminasi di masyarakat.
“Harapan kami kepada pemerintahan Jokowi, tidak ada lagi diskriminasi dalam bentuk apapun di negara ini. Sehingga kami orang-orang yang termarjinalkan bisa hidup berdampingan dengan warga lain,” ujar Ketua Umum persatuan Orang Mini se-Indonesia, Dafri Jhon di Jakarta, Rabu (15/10/2014).
Menurutnya, para kaum termarjinalkan seperti komunitas waria, komunitas penghayat kepercayaan, dan komunitas-komunitas lain membentuk sebuah wadah untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam sebauh wadah Relawan rakyat Merah Putih (RMP).
“Kesempatan yang sama itu kiranya dapat tercermin dari pemerintahan Jokowi melalui undang-undang bagi kelompok kami yang termarjinalkan,” kata Jhon
Dia mengatakan, dengan hal ini diharapkan agar kedepannya kaum termarjinalkan mendapatkan perlakuan hukum yang sama.
Pria yang akrab disapa Jhon mini mini menilai, Jokowi bisa mengangkat derajat orang-orang termarjinalkan yang selama ini mendapat perlakuan diskriminasi di lingkungannya.
“Jokowi bisa mengangkat drajat kami dari yang rendah tingkat pendidikannya dan ekonomi dengan memberikan lapangan pekerjaan sesuai dengan bentuk phikis dan postur tubuh,” tukasnya.
KESIMPULAN
Dari kasus dan data diatas dapat kita simpulkan bahwa seorang waria tidak sepenuhnya mendapatkan fasilitas yang diberikan dari pemerintah. Seperti yang sudah dijabarkan diatas bahwa Nadya dan keluarganya tidak mendapatkan layanan berupa BPJS dan tidak mendapatkan dana untuk membuat usaha. Dan dari segi pekerjaan memang dia tidak sulit dalam hal tersebut, namun saat bekerja dia selalu mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Yang seharusnya mendapatkan gaji sesuai dengan perjanjian malah hanya mendapatkan gaji yang sangat sedikit sekali dan mendapatkan perlakuan yang kasar dari atasannya.
Dan seperti yang telah dibahas diatas bahwasannya saat masih dibangku SMK Nadya mengajukan beasiswa namun dari pihak sekolahnya tidak diterima dan tidak dipilih karena dia mempunyai sifat yang seperti itu, hal itu jugalah yang membuatnya tidak merasa tenang apabila tetap melanjutkan sekolahnya. Namun jikalau pada saat itu orangtuanya mempunyai dana pasti dia juga akan meneruskannya sampai dia lulus.
Dan kita sebagai warga negara yang baik seharusnya bisa melihat dan membantu bagaimana kehidupan waria yang hanya dianggap sebelah mata saja oleh kebanyakan orang. Kenalilah Mereka Dahulu, Maka Kamu Akan Tau Kebenarannya. J







Minggu, 08 November 2015

TUGAS INDIVIDU



Nama              : ROHMATUL UMAH
NIM                : 1711143074
Jurusan/kelas : HES/3C

PENERAPAN DUA PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

A.  Definisi dan Perubahan Sosial Menurut Para Ahli
Secara umum perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem soaial. Perubahan tersebut terjadi akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan.
Menurut Selo Soemardjan perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi oleh lembaga kemasyarakat di masyarakat, yang mempengaruhi sikap, nilai yang ada dikelompoknya.
Menurut Karl Manhein perubahan sosial adalah perubahan norma-norma atau aturan-aturan dimana apabila norma atau aturannya berubah perilakunya juga pasti akan berubah.

B.  Paradigma Perubahan Sosial
Paradigma Perubahan Sosial adalah suatu pandangan yang mendasar tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan atau berubahnya struktur dan fungsi suatu sistem sosial dimasyarakat.
Paradigma dibagi menjadi dua, yaitu:
1.    Hukum sebagai alat pelayan kebutuhan masyarakat, ini maksudnya hukum mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Hukum bisa ada karena adanya desakan atau ide yang diajukan oleh masyarakat lalu hukumnyapun akan mengikti perilaku masyarakat.
2.    Hukum dapat menciptakan perubahan didalam masyarakat dan masyarakat mau tidak mau harus mengikuti hukum tersebut. Dan disini hukum digunakan sebagai rekayasa sosial.

C.  Penerapan Dua Paradigma dalam Undang-Undang Pornografi
Ditengah keprihatinan akan merebaknya praktek pornografi berikut segala dampaknya, maka dipemberlakukanlah Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang disahkan pada tanggal 26 November 2008. Dalam hal ini salah satu contoh tentang batasan-batasan atau definisi dari Pornografi itu sendiri yang termuat dalam Undang-Undang Pornografi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Disini saya akan mencoba menjelaskan tentang penerapan dua paradigma yang sudah saya paparkan diatas dalam Undang-Undang Pornografi. Kedua paradigma tersebut pastilah mempunyai ikut serta dalam diadakannya Undang-Undang ini. Yakni:
1.      Paradigma sebagai alat pelayanan kebutuhan masyarakat, disini saya mengambil contoh dari Pasal 15 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi”. Dan Pasal 16 ayat 1yang berbunyi: “Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat, berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi”. Disini hukum diharuskan menjalankan tugasnya yakni sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, yang bisa dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga yang bertugas, keluarga, dan dari masyarakat sendiri. Diharapkan agar korban dan pelaku mendapatkan pelayanan yang pantas sesuai dengan yang dibutuhkan. Dan dari pihak keluarga sendiri bisa lebih mudah dalam memberikan pengawasan mereka kepada anak-anak mereka agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang mengarah ke hal-hal yang pornografi, dengan cara memberikan kasih sayang yang luar biasa tulusnya kepada anak-anak mereka agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan mempunyai masa depan yang baik pula.
Dilanjutkan dengan  Pasal 20 tentang Peran Masyarakat yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”. Dan dilanjutkan dengan Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi “Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a) Melaporkan pelanggaran Undang-undang ini; b) Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c) Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d) Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi”. Dari sini dapat kita lihat bahwa bukan hanya dari pihak pemerintahannya saja yang ikut berperan dalam melakukan pencegahan pornografi, namun dari masyarakat juga ikut berperan. Karena dapat kita lihat kalau peran masyarakat disini bisa langsung terjun memberikan sosialisasi  ke masyarakat yang lain. Berbeda dengan dari pihak pemerintah, pasti akan banyak rintangan atau kesulitan dalam mensosialisaikan kemasyarakat secara langsung. Berhubungan dengan Pasal 22 yang berbunyi “Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 huruf a berhak mendapatkan perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Dari yang kita ketahui diatas, bahwa masyarakat juga ikut berperan dalam pencegahan pornografi tidak usahlah takut apabila melaporkan tindak kejahatan ini, karena dari sinilah ada perlindungan tersendiri bagi siapapun yang melaporkan tindak kejahatan pornografi tersebut. Dapat kita lihat penerapan paradigma sebagai alat kebutuhan masyarakat pasal penjelasan diatas sangatlah jelas, apabila kita melaporkan tindak kejahatan ini maka akan ada pula perlindungan yang kita dapat. Makadari itu kita tidak perlu merasa takut jika kita melakukan tindakan yang benar. Karena sudah ada yang melindungi hak kita.
2.      Paradigma sebagai alat untuk rekayasa sosial. Dari Undang-Undang ini banyak sekali pasal-pasal yang bertujuan untuk sebagai alat rekayasa sosial, yakni pada Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan. Menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) mastrubasi atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e) alat kelamin; atau f) pornografi anak”. Ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a) menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b) menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c) mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d) menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Disini hukum sangatlah mempunyai perannya sebagai alat rekayasa sosial, yakni hukum dapat menciptakan perubahan di dalam masyarakat dan masyarakat mau tidak mau harus berubah. Dengan adanya pasal ini setiap orang akan merasa takut karena perbuatan tersebut sudah ada dalam Undang-Undang.
Dan pada Pasal 29 Tentang Ketentuan Pidana yang berbunyi: “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dan pada Pasal 30 yang berbunyi: “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahaun dan/atau pidana penjara paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dengan adanya ketentuan pidana inilah yang akan memperkuat hukuman yang diberikan kepada siapa saja yang melanggar peraturan sesuai dengan pasal yang dilanggarnya. Maka diharapkan agar masyarakat menjadi lebih takut dan memberikan efek jera kepada pelanggarnya.

D.  KESIMPULAN
Seperti yang kita sudah bahas diatas, sebenarnya kedua paradigma tersebut sudah diterapkan dalam Undang-Undang ini. Dengan disahkanya Undang-Undang Pornografi pada tanggal 26 November 2008, diharapkan pembebasan bangsa ini dari kebobrokan yang dihasilkan dari sistem kapitalisme sekular yang rusak, dapat dicapai melalui pembatasan segala pikiran dan tindakan yang mulai menabrak nilai-nilai norma dan akibat dari laju globalisasi yang melesat. Namun pada kenyataanya, bangsa kita tetap sama saja. Tidak ada perubahan yang signifikan. Kerja dari Undang-Undang tersebut rasanya kurang terasa dan mengena bagi masyarakat, diakarekan ada pihak-pihak tertentu yang menolak Undang-undang Pornografi ini. Tiap hari masih saja ada berita dari media manapun di lingkungan sekitar kita mengabarkan ada saja pelanggaran-pelanggaran seksualitas baik dari usia muda sampai tua. Artinya pemberlakuan Undang-Undang Pornografi belum menjamin penyelesaian persoalan pornografi. Tentu saja peran masyarakat sangatlah diperlukan dalam hal ini agar suatu sistem yang tepat tersebut, dapat segera ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ni’mah, Zulfatun. Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan I. Yogyakarta:Teras,2012
tugas-1-artikel-uu-pornografi.html diakses pada tanggal 3 November 2015 Pada pukul 19:21
Undang-undang_Pornografi.htm diakses pada tanggal 3 November 2015 Pada pukul 19:18