Nama : ROHMATUL UMAH
NIM :
1711143074
Jurusan/kelas : HES/3C
PENERAPAN
DUA PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI
A. Definisi dan Perubahan Sosial
Menurut Para Ahli
Secara
umum perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan
fungsi suatu sistem soaial. Perubahan tersebut terjadi akibat masuknya ide-ide
pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan.
Menurut
Selo Soemardjan perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi oleh
lembaga kemasyarakat di masyarakat, yang mempengaruhi sikap, nilai yang ada
dikelompoknya.
Menurut
Karl Manhein perubahan sosial adalah perubahan norma-norma atau aturan-aturan
dimana apabila norma atau aturannya berubah perilakunya juga pasti akan
berubah.
B. Paradigma Perubahan Sosial
Paradigma
Perubahan Sosial adalah suatu pandangan yang mendasar tentang sesuatu yang
menjadi pokok permasalahan atau berubahnya struktur dan fungsi suatu sistem
sosial dimasyarakat.
Paradigma
dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hukum
sebagai alat pelayan kebutuhan masyarakat, ini maksudnya hukum mengikuti apa
yang diinginkan oleh masyarakat. Hukum bisa ada karena adanya desakan atau ide
yang diajukan oleh masyarakat lalu hukumnyapun akan mengikti perilaku
masyarakat.
2.
Hukum dapat menciptakan perubahan
didalam masyarakat dan masyarakat mau tidak mau harus mengikuti hukum tersebut.
Dan disini hukum digunakan sebagai rekayasa sosial.
C. Penerapan Dua Paradigma dalam
Undang-Undang Pornografi
Ditengah
keprihatinan akan merebaknya praktek pornografi berikut segala dampaknya, maka
dipemberlakukanlah Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang
disahkan pada tanggal 26 November 2008. Dalam hal ini salah satu contoh tentang
batasan-batasan atau definisi dari Pornografi itu sendiri yang termuat dalam
Undang-Undang Pornografi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pornografi adalah
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat”.
Disini
saya akan mencoba menjelaskan tentang penerapan dua paradigma yang sudah saya
paparkan diatas dalam Undang-Undang Pornografi. Kedua paradigma tersebut
pastilah mempunyai ikut serta dalam diadakannya Undang-Undang ini. Yakni:
1. Paradigma
sebagai alat pelayanan kebutuhan masyarakat, disini saya mengambil contoh dari
Pasal 15 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Setiap orang berkewajiban
melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap
informasi pornografi”. Dan Pasal 16 ayat 1yang berbunyi: “Pemerintah, lembaga
sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat,
berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial,
kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku
pornografi”. Disini hukum diharuskan menjalankan tugasnya yakni sebagai pelayan
kebutuhan masyarakat, yang bisa dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga yang
bertugas, keluarga, dan dari masyarakat sendiri. Diharapkan agar korban dan
pelaku mendapatkan pelayanan yang pantas sesuai dengan yang dibutuhkan. Dan
dari pihak keluarga sendiri bisa lebih mudah dalam memberikan pengawasan mereka
kepada anak-anak mereka agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang mengarah ke
hal-hal yang pornografi, dengan cara memberikan kasih sayang yang luar biasa
tulusnya kepada anak-anak mereka agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan
baik dan mempunyai masa depan yang baik pula.
Dilanjutkan
dengan Pasal 20 tentang Peran Masyarakat
yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan
terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”. Dan dilanjutkan
dengan Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi “Peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a) Melaporkan
pelanggaran Undang-undang ini; b) Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c) Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi;
dan d) Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak
pornografi”. Dari sini dapat kita lihat bahwa bukan hanya dari pihak pemerintahannya
saja yang ikut berperan dalam melakukan pencegahan pornografi, namun dari
masyarakat juga ikut berperan. Karena dapat kita lihat kalau peran masyarakat
disini bisa langsung terjun memberikan sosialisasi ke masyarakat yang lain. Berbeda dengan dari
pihak pemerintah, pasti akan banyak rintangan atau kesulitan dalam mensosialisaikan
kemasyarakat secara langsung. Berhubungan dengan Pasal 22 yang berbunyi
“Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21
ayat 1 huruf a berhak mendapatkan perlindungan berdasarkan peraturan
perundang-undangan”. Dari yang kita ketahui diatas, bahwa masyarakat juga ikut
berperan dalam pencegahan pornografi tidak usahlah takut apabila melaporkan
tindak kejahatan ini, karena dari sinilah ada perlindungan tersendiri bagi
siapapun yang melaporkan tindak kejahatan pornografi tersebut. Dapat kita lihat
penerapan paradigma sebagai alat kebutuhan masyarakat pasal penjelasan diatas
sangatlah jelas, apabila kita melaporkan tindak kejahatan ini maka akan ada
pula perlindungan yang kita dapat. Makadari itu kita tidak perlu merasa takut
jika kita melakukan tindakan yang benar. Karena sudah ada yang melindungi hak
kita.
2. Paradigma
sebagai alat untuk rekayasa sosial. Dari Undang-Undang ini banyak sekali pasal-pasal
yang bertujuan untuk sebagai alat rekayasa sosial, yakni pada Pasal 4 ayat (1)
yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan. Menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b)
kekerasan seksual; c) mastrubasi atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan
yang mengesankan ketelanjangan; e) alat kelamin; atau f) pornografi anak”. Ayat
(2) yang berbunyi “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a)
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan; b) menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c) mengeksploitasi
atau memamerkan aktivitas seksual; atau d) menawarkan atau mengiklankan, baik
langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Disini hukum sangatlah
mempunyai perannya sebagai alat rekayasa sosial, yakni hukum dapat menciptakan
perubahan di dalam masyarakat dan masyarakat mau tidak mau harus berubah.
Dengan adanya pasal ini setiap orang akan merasa takut karena perbuatan
tersebut sudah ada dalam Undang-Undang.
Dan
pada Pasal 29 Tentang Ketentuan Pidana yang berbunyi: “Setiap orang yang memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dan
pada Pasal 30 yang berbunyi: “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahaun dan/atau pidana
penjara paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dengan adanya ketentuan
pidana inilah yang akan memperkuat hukuman yang diberikan kepada siapa saja
yang melanggar peraturan sesuai dengan pasal yang dilanggarnya. Maka diharapkan
agar masyarakat menjadi lebih takut dan memberikan efek jera kepada
pelanggarnya.
D. KESIMPULAN
Seperti
yang kita sudah bahas diatas, sebenarnya kedua paradigma tersebut sudah
diterapkan dalam Undang-Undang ini. Dengan disahkanya Undang-Undang Pornografi
pada tanggal 26 November 2008, diharapkan pembebasan bangsa ini dari kebobrokan
yang dihasilkan dari sistem kapitalisme sekular yang rusak, dapat dicapai
melalui pembatasan segala pikiran dan tindakan yang mulai menabrak nilai-nilai
norma dan akibat dari laju globalisasi yang melesat. Namun pada kenyataanya,
bangsa kita tetap sama saja. Tidak ada perubahan yang signifikan. Kerja dari
Undang-Undang tersebut rasanya kurang terasa dan mengena bagi masyarakat,
diakarekan ada pihak-pihak tertentu yang menolak Undang-undang Pornografi ini.
Tiap hari masih saja ada berita dari media manapun di lingkungan sekitar kita
mengabarkan ada saja pelanggaran-pelanggaran seksualitas baik dari usia muda
sampai tua. Artinya pemberlakuan Undang-Undang Pornografi belum menjamin
penyelesaian persoalan pornografi. Tentu saja peran masyarakat sangatlah
diperlukan dalam hal ini agar suatu sistem yang tepat tersebut, dapat segera
ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mah, Zulfatun. Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar,
Cetakan I. Yogyakarta:Teras,2012
tugas-1-artikel-uu-pornografi.html diakses pada
tanggal 3 November 2015 Pada pukul 19:21
Undang-undang_Pornografi.htm diakses pada tanggal 3
November 2015 Pada pukul 19:18