Minggu, 08 November 2015

TUGAS INDIVIDU



Nama              : ROHMATUL UMAH
NIM                : 1711143074
Jurusan/kelas : HES/3C

PENERAPAN DUA PARADIGMA DALAM UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI

A.  Definisi dan Perubahan Sosial Menurut Para Ahli
Secara umum perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem soaial. Perubahan tersebut terjadi akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan.
Menurut Selo Soemardjan perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi oleh lembaga kemasyarakat di masyarakat, yang mempengaruhi sikap, nilai yang ada dikelompoknya.
Menurut Karl Manhein perubahan sosial adalah perubahan norma-norma atau aturan-aturan dimana apabila norma atau aturannya berubah perilakunya juga pasti akan berubah.

B.  Paradigma Perubahan Sosial
Paradigma Perubahan Sosial adalah suatu pandangan yang mendasar tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan atau berubahnya struktur dan fungsi suatu sistem sosial dimasyarakat.
Paradigma dibagi menjadi dua, yaitu:
1.    Hukum sebagai alat pelayan kebutuhan masyarakat, ini maksudnya hukum mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat. Hukum bisa ada karena adanya desakan atau ide yang diajukan oleh masyarakat lalu hukumnyapun akan mengikti perilaku masyarakat.
2.    Hukum dapat menciptakan perubahan didalam masyarakat dan masyarakat mau tidak mau harus mengikuti hukum tersebut. Dan disini hukum digunakan sebagai rekayasa sosial.

C.  Penerapan Dua Paradigma dalam Undang-Undang Pornografi
Ditengah keprihatinan akan merebaknya praktek pornografi berikut segala dampaknya, maka dipemberlakukanlah Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang disahkan pada tanggal 26 November 2008. Dalam hal ini salah satu contoh tentang batasan-batasan atau definisi dari Pornografi itu sendiri yang termuat dalam Undang-Undang Pornografi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Disini saya akan mencoba menjelaskan tentang penerapan dua paradigma yang sudah saya paparkan diatas dalam Undang-Undang Pornografi. Kedua paradigma tersebut pastilah mempunyai ikut serta dalam diadakannya Undang-Undang ini. Yakni:
1.      Paradigma sebagai alat pelayanan kebutuhan masyarakat, disini saya mengambil contoh dari Pasal 15 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi”. Dan Pasal 16 ayat 1yang berbunyi: “Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat, berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi”. Disini hukum diharuskan menjalankan tugasnya yakni sebagai pelayan kebutuhan masyarakat, yang bisa dilakukan oleh pemerintah, lembaga-lembaga yang bertugas, keluarga, dan dari masyarakat sendiri. Diharapkan agar korban dan pelaku mendapatkan pelayanan yang pantas sesuai dengan yang dibutuhkan. Dan dari pihak keluarga sendiri bisa lebih mudah dalam memberikan pengawasan mereka kepada anak-anak mereka agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang mengarah ke hal-hal yang pornografi, dengan cara memberikan kasih sayang yang luar biasa tulusnya kepada anak-anak mereka agar mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan mempunyai masa depan yang baik pula.
Dilanjutkan dengan  Pasal 20 tentang Peran Masyarakat yang berbunyi: “Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi”. Dan dilanjutkan dengan Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi “Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara: a) Melaporkan pelanggaran Undang-undang ini; b) Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c) Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d) Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi”. Dari sini dapat kita lihat bahwa bukan hanya dari pihak pemerintahannya saja yang ikut berperan dalam melakukan pencegahan pornografi, namun dari masyarakat juga ikut berperan. Karena dapat kita lihat kalau peran masyarakat disini bisa langsung terjun memberikan sosialisasi  ke masyarakat yang lain. Berbeda dengan dari pihak pemerintah, pasti akan banyak rintangan atau kesulitan dalam mensosialisaikan kemasyarakat secara langsung. Berhubungan dengan Pasal 22 yang berbunyi “Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 huruf a berhak mendapatkan perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Dari yang kita ketahui diatas, bahwa masyarakat juga ikut berperan dalam pencegahan pornografi tidak usahlah takut apabila melaporkan tindak kejahatan ini, karena dari sinilah ada perlindungan tersendiri bagi siapapun yang melaporkan tindak kejahatan pornografi tersebut. Dapat kita lihat penerapan paradigma sebagai alat kebutuhan masyarakat pasal penjelasan diatas sangatlah jelas, apabila kita melaporkan tindak kejahatan ini maka akan ada pula perlindungan yang kita dapat. Makadari itu kita tidak perlu merasa takut jika kita melakukan tindakan yang benar. Karena sudah ada yang melindungi hak kita.
2.      Paradigma sebagai alat untuk rekayasa sosial. Dari Undang-Undang ini banyak sekali pasal-pasal yang bertujuan untuk sebagai alat rekayasa sosial, yakni pada Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan. Menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a) persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b) kekerasan seksual; c) mastrubasi atau onani; d) ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e) alat kelamin; atau f) pornografi anak”. Ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a) menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b) menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c) mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d) menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Disini hukum sangatlah mempunyai perannya sebagai alat rekayasa sosial, yakni hukum dapat menciptakan perubahan di dalam masyarakat dan masyarakat mau tidak mau harus berubah. Dengan adanya pasal ini setiap orang akan merasa takut karena perbuatan tersebut sudah ada dalam Undang-Undang.
Dan pada Pasal 29 Tentang Ketentuan Pidana yang berbunyi: “Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dan pada Pasal 30 yang berbunyi: “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahaun dan/atau pidana penjara paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dengan adanya ketentuan pidana inilah yang akan memperkuat hukuman yang diberikan kepada siapa saja yang melanggar peraturan sesuai dengan pasal yang dilanggarnya. Maka diharapkan agar masyarakat menjadi lebih takut dan memberikan efek jera kepada pelanggarnya.

D.  KESIMPULAN
Seperti yang kita sudah bahas diatas, sebenarnya kedua paradigma tersebut sudah diterapkan dalam Undang-Undang ini. Dengan disahkanya Undang-Undang Pornografi pada tanggal 26 November 2008, diharapkan pembebasan bangsa ini dari kebobrokan yang dihasilkan dari sistem kapitalisme sekular yang rusak, dapat dicapai melalui pembatasan segala pikiran dan tindakan yang mulai menabrak nilai-nilai norma dan akibat dari laju globalisasi yang melesat. Namun pada kenyataanya, bangsa kita tetap sama saja. Tidak ada perubahan yang signifikan. Kerja dari Undang-Undang tersebut rasanya kurang terasa dan mengena bagi masyarakat, diakarekan ada pihak-pihak tertentu yang menolak Undang-undang Pornografi ini. Tiap hari masih saja ada berita dari media manapun di lingkungan sekitar kita mengabarkan ada saja pelanggaran-pelanggaran seksualitas baik dari usia muda sampai tua. Artinya pemberlakuan Undang-Undang Pornografi belum menjamin penyelesaian persoalan pornografi. Tentu saja peran masyarakat sangatlah diperlukan dalam hal ini agar suatu sistem yang tepat tersebut, dapat segera ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ni’mah, Zulfatun. Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan I. Yogyakarta:Teras,2012
tugas-1-artikel-uu-pornografi.html diakses pada tanggal 3 November 2015 Pada pukul 19:21
Undang-undang_Pornografi.htm diakses pada tanggal 3 November 2015 Pada pukul 19:18