Kamis, 26 Mei 2016

UU NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LPM DAN PTUS



   UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Beberapa Perjanjian yang Dilarang dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS, sebagai berikut:
1.    OLIGOPOLI
Oligopoli dari segi bahasa berasal dari kata olio yang berarti beberapa dan poli yang artinya penjual adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang dari sepuluh.
Berdasarkan UU No 5 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1 Oligopoli adalah “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Yang pelaku usahanya menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Contoh kasus: Perilaku Oligopoli pada Industri Telekomunikasi
Ada hal menarik yang dapat dicermati dari gencarnya perang tarif percakapan melalui telepon seluler akhir-akhir ini, yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah memberikan harga terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku tiga operator telepon seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan PT. Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan menawarkan tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming menarik yang ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon seluler kini sebenarnya sudah memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau tidak mau dikatakan sudah membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan individual.
Kreatifitas para operator dalam merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu mengacak-acak perilaku pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali penasaran dan terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp 0,1 per detik ke sesama operator;  sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan Rp 0,5 per detik.  Indosat Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per detik ke seluruh operator untuk percakapan 90 detik pertama dan selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per detik ke sesama operator dan Rp25 per detik ke operator lain.  Belum lagi, operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan tarif paling murah ke sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.
Penyelesaian:
Seperti yang di jelaskan pada pasal 4 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1999 bahwa pelaku usaha tidak boleh melakukan kerja sama dengan pelaku usaha lain untuk menetapkan harga secara tidak sehat atau dengan tujuan menguasai usaha. Seperti yang di lakukan oleh operator di Indonesia mereka berlomba-lomba memberikan tarif yang paling murah dari pada pesaing mereka dengan harapan produk mereka lebih di minati oleh konsumen namun yang terjadi di sini adalah pemberian harga yang tidak sehat karena dengan promosi yang berlebihan dengan menyebutkan harga yang murah sajamereka menjerat konsumen dengan skema harga yang tidak jelas dan transparan, seperti sebagai contoh untuk mendapatkan harga yang di maksud konsumen harus melakukan panggilan minimal 1menit dengan tarif 2-3x biaya telefon seharus nya sehinnga hal tersebut merugikan masyarkat. Ada baik nya pelaku bisnis operator telefon di indonesia melakukan persaingan secara sehat dan tidak menerapkan skema harga yang ‘nakal’ atau tidak jelas seperti yang sekarang banyak beredar di masyarakat. Untuk mengetasi masalah tersebut ada baik nya jika pemerintah melakukan monopoli secara penuh sehingga masyarakat dapat merasa aman dan tidak ada permainan harga dari pihak pelaku usaha dengan jenis oligopoli ini. Karena dengan pemerintah memegang kendali secara penuh tidak ada lagi permainan harga yang dapat di lakukan sehingga semua menjadi seragam.
2.    PENETAPAN HARGA
Yakni suatu strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
            Contoh kasus:
Adalah perkara penetapan harga yang didukung oleh asosiasi pengusaha angkutan jalan raya (Organda DKI Jakarta), didasarkan pada Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas AC. Dugaan penetapan harga ditujukan pada penyelenggara angkutan umum, yakni PT Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum PPD, PT Bianglala Metropolitan, PT Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan berawal dari kesepakatan di antara pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung dalam Organda, untuk menaikkan tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300, dengan menerbitkan Surat Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan surat ini, mereka yang tergabung dalam asosiasi, yakni DPD Organda DKI Jakarta, kemudian mengajukan surat kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk konsultansi tarif Bus Kota Patas AC. Sesuai dengan permohonan tersebut, maka Gubernur mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33 tanggal 4 September 2001 mengenai Penyesuaian Tarif Angkutan, dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.
Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan tersebut antara lain adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts, sehingga mereka menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah atau di bawah biaya pokok angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk menaikkan tarif secara seragam, meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan yang hanya memiliki sedikit armada bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk menentukan besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga hanya mengikuti saja kesepakatan di antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif ini diakui beberapa penyelenggara angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa persaingan, karena seharusnya yang berhak menentukan besarnya tarif angkutan adalah para penyelenggara, disesuaikan dengan biaya produksi masing-masing operator bus kota.
Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha dan saksi-saksi, maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa kesepakatan di antara para penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas melanggar Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,- per-penumpang.
3.    PEMBAGIAN WILAYAH
Yakni suatu startegi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan mebuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Contoh Kasus:
Adapun para Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI),Terlapor II Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanika l Indonesia (DPD AKLI) Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Tana Toraja.Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota-anggotanya untuk dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang(DPC), dan 4806 (empat ribu delapan ratus enam) badan usaha instalatir. Terlapor II adalah pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi Selatan,Terlapor II membawahi 9 (sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak 173(seratus tujuh puluh tiga) badan usaha instalatir. Terlapor III adalah pengurus cabang Terlapor I di Kota Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota badan instalatir. KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I melaluiTerlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan DPC-DPC lain diwilayah Sulawesi Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan wilayah cabang PT. PLN (Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah PT. PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT ( Penanggung JawabTeknik) menjadi 4 (empat) wilayah berdasarkan tempat kedudukan DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI. Pembagian wilayah PJTdalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah kerja PJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, serta memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat.
Pembagian wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi Selatan melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, TerlaporVI, dan DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir. Putusan ini menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaandapat digunakan untuk melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian yang anti persaingan. Dengan adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak ditemukan adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut

4.    PEMBOIKOTAN
Pemboikotan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang ama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Yang nantinya akibat dari perjanjian tersebut adalah merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain dan membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap brang atau jasa dari pasar berangkutan. Perjanjian pemboikotan ini diatur dalam Pasal 10 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM dan PTUS.
Contoh Kasus:
Secara singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut.Pelapor dalam kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuahkoperasi agen pembelian yang terdiri dari kurang lebih retailer  alat-alat kantor di Pacifc Northwest US. Koperasi bertindak sebagai retailer  utama bagi retail-retaillainnya.Retailer  yang bukan anggota dapat membeli alat-lata kantor dengan hargayang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir tahun koperasi membagikankeuntungan kepada anggotanya dalam bentuk percentase rebate  dalam pembelian.Sehingga sebenarnya anggota membeli lebih rendah dari non anggota. Sementara Terlapor Pacifc Stationery Co. adalah menjual alat kantor baik retail maupun wholesale . Pacifc menjadi anggota Northwest sejak tahun 1958. Pada tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan melarang anggotanyamenjual retail dan wholesale  . Suatu klausula menjamin hak Pacifc untuk menjadianggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacic berpindah tangan, namun pemilik baru ini tidak melakukan perubahan kegiatannya, hal mana bertentangan dengananggaran dasar Northwest. Pada tahun 1978 sebagian besar anggota Northwest 140 472 US 284 (1985) memutuskan untuk mengeluarkan Pacc. Pacifc kemudian membawa perkara ini ke pengadilan berdasarkan group boycott  yang membatasi kemampuan Paciifc untuk berkompetisi karena harus dinyatakan melanggar hukum persiangan secara per se illegal .Pengadilan Negeri menyatakan tidak terdapat pelanggaran hukumpersaingan secaraper se illegal  karenanya harus dipreriksa secara rule of reason Namun Pengadilan Banding menyatakan bahwa Northwest melanggar Sherman Act secara per se illegal.

5.    KARTEL
Kartel adalah suatu perjnjian yang dialkukan oelh pelaku usaha dengan peaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Kartel ini diatur di dalam Pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Contoh kasus:
Contoh kasus mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPUyaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003 mengenai Kargo Surabaya-Makasar. Adapunduduk perkaranya adalah sebagai berikut Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT.Meratus, PT. Tempuran Emas, PT. Djakarta Lloyd, PT. Jayakusuma Perdana Lines,PT. Samudera Indonesia, PT. Tanto Intim Line, dan PT. Lumintu Sinar Perkasa padaRapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hariSenin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri para Terlapor, Saksi I dan Saksi III telah disepakati penetapan tarif dan kuota yang kemudian dituangkan dalamBerita Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi Surabaya dan masing-masing pihakmengakui dan membubuhkan tanda tangan atas dokumen kesepakatan tarif dankuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai berlaku sejak 1 Januari 2003sampai dengan 31 Maret 2003.Unsur Pasar 11 UU No. 5 Tahun 1999 pada intinya adalah adanya kesepakatanantar perusahaan yang bersaing untuk mengatur produksi dan atau pemasaransuatu barang atau jasa yang ditujukan untuk mempengaruhi harga dan dapatmengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para Terlapor telahmengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo) dari paraTerlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan Makassar –Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga.
Disamping itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut para Terlapor telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antara anggota kartel. Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktek usaha persaingan tidak sehat sehingga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
6.    TRUST
Trust adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya untuk melkukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadnya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat. Trust ini diatur dalam Pasal 12 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Trust  terjadi dimana sejumlah perusahaan menyerahkan saham mereka pada suatu “badan trustee  ” yang kemudian memberikan sertikat dengan nilai yang sama kepada anggota trust. Trust pertama yang sangat terkenal adalah Standard Oil yang terbentuk pada tahun 1882, yang kemudian diikuti olehbanyak industri lainnya. Hal ini menyebabkan banyaknya kemajuan-kemajuan di Amerika. Namun, karena trust  juga mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan, maka trust dianggap suatu yang melanggar hukum. Undang-undang No.5/1999, menyatakan bahwa trust merupakan salah satuperjanjian yang dilarang untuk dilakukan
Contoh kasus:
Salah satu putusan landmark  mengenai Trust ini adalah kasus Standard Oil Company of New Jersey vs. United States. Secara singkat kasusnya adalahse bagai berikut: Para Tergugat didakwa melakukan konspirasi untuk menghambatperdagangan minyak, penyulingan minyak dan produk-produk minyak lainnya.Konspirasi telah dimulai sejak tahun 1870 oleh ketiga dari Terdakwa yaitu John D.Rockeffeller, William Rockefeller dan Hendri M. Flagler. Adapun masa konspirasi ini dibagi dalam tiga periode yaitu tahun 1870 – 1882, dari tahun 1882 – 1899 dan1899 – sampai adanya perkara.Pada tahun 1870 – 1882, John D. Rockefeller dan William Rockefeller dan beberapa orang lainnya membuat tiga partnership yang bergerak dibidang perminyakan dan mengapalkannya kebeberapa Negara bagian. Pada tahun 1870 dibentuklah Standard Oil Company of Ohio dan ketiga partnership  ini digabungkandalam perusahaan ini dan menjadi milik bersama sesuai dengan sahamnyamasing-masing. Bahwa sejak itu telah dilakukan penggabungan-penggabungan.Sejak tahun 1872 perusahaan tersebut telah mendapatkan pangsa pasar yang substansial kecuali 3 atau 4 dari 35 atau 40 penyulingan minyak yang berlokasi di Cleveland, Ohio. Berdasarkan pada kekuatan ini, dan sesuai dengan tujuannya untukmembatasi dan memonopoli perdagangan baik antar Negara bagian maupun pada Negara bagian tersebut, maka anggota mendapatkan banyak kemudahaan baik dari harga, transport (railroad)  dibandingkan kompetitornya. Hal ini memaksa kopetitor untuk menjadi bagian dari perjanjian atau menjadi bangkrut. Para pihak yangtergabung pada saat itu telah menguasai 90% dari bisnis produksi, pengapalan, penyulingan dan penjualan minyak dan produknya. Pada periode kedua yaitu tahun 1882 – 1899 dimana saham dari 40perusahaan termasuk Standard Oil Company of Ohio diletakkan pada suatu Trustee   dan ahli warisnya untuk kepentingan semua pihak secara bersama. Perjanjian ini dibuat dengan mengeluarkan sertifikat Standard Oil Trust. Setelah itu Trustee  jugamembuat atau mengorganisir Standard Oil Company of New jersey dan Standard OilCompany of New York. Akhirnya MA pada tanggal 2 Maret 1892 menyatakan bahwa Trustee  ini batal demi hukum karena perjanjian tersebut menghambat perdagangandan berpuncak pada pembentukan monopoli yang melanggar hukum.

7.    OLIGOPSONI
Suatu perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuksecara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Larangan oligopsoni ini diatur dalam Pasal 13 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Contoh kasus:
Pada kesempatan ini juga akan dijelaskan lebih lanjut dengan membahas kasus oligopsoni In re BEEF INDUSTRY ANTITRUST LITIGATION MDL DOCKET NO.248. MEAT PRICE INVESTIGATORS ASSOCIATION, an Iowa unincorporated associationand trust , et al., Plaintiffs-Appellants, vs. IOWA BEEF PROCESSORS, INC. (nowknown as IBP, Inc.), a Delaware Corporation, et al., Defendants-Appellees (No.89-1483.Aug. 1,1990. Adapun secara ringkas kasusnya adalah sebagai berikut.Assosasi Investigator Harga Daging dan beberapa peternak sapi, mengajukan IowaBeef Processors, Inc., Excel Corporation dan The National Provisioners, Inc. (The Yellow Sheet  ke Pengadilan pada tahun 1977. Adapun yang menjadi alasanadalah bahwa retailer  dan packers  (pengepak) melakukan konspirasi baik secarahorisontal maupun vertikal untuk menurunkan harga dari sapi.Mereka mendalilkan bahwa konspirasi ini mengikuti skema penetapanharga. The National Provisioner  mempublikasikan setiap hari harga produk sapipada the Yellow Sheet  The Yellow Sheet  mendasarkan publikasinya laporan dariharga komoditas tersebut pada saat itu. Para pengepak menggunakan harga the Yellow Sheet  untuk menentukan harga yang mereka tawarkan kepada peternaksapi.Pengepak mendalilkan bahwa seperti ditemukan oleh Pengadilan Negeri,bahwa the Yellow Sheet  adalah informasi publik yang dapat dibeli dan digunakanoleh semua pihak. Mereka juga mendalilkan bahwa peternak sapi tidak mempunyaibukti bahwa telah terjadi parallel pricing  oleh IBP dan Excel yang merupakanindependen bisnis.Tergugat juga mempunyai bukti yang cukup, bahwa the Yellow Sheet   adalah merupakan salah satu faktor, masih terdapat faktor-faktor lain yangmenjadi pertimbangan pengepak dalam menentukan harganya yaitu: Pertamakebutuhan pengepak itu sendiri untuk menentukan kebutuhannya akan dagingsetiap minggunya, termasuk dalam hal ini kontrak dengan buruh yang tetap harusdibayar terlepas ada pekerjaan atau tidak; Kedua kondisi pasar pada saat itu apakah over supply  atau tidak; Ketiga, persaingan harga antara pengepak; Keempat adalah harga berdasarkan pasar produk yang dapat memaksapengepak membayar lebih mahal atau lebih murah dari daftar harga dalam the Yellow Sheet  .Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka Pengadilan Banding menolakklaim dari peternak sapi. Apabila Penggugat mendalilkan adanya concious paralellism  , maka syaratnya haruslah terdapat parralel antar tergugat. Pengadilan menyatakan bahwa tidak terdapat paralellism antara para tergugat.

8.    INTEGRASI VERTIKAL
Adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suaturangkaian langsung maupun tidak langsung, nyang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Integrasi vertikal ini di atur dalam Pasal 14 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Contoh Kasus:
Salah satu kasus yang pernah diputus oleh KPPU adalah apa yang dikenal dengan kasus Abacus yaitu Putusan No. 01/KPPU-L/2003. Terlapor dalam kasus ini adalah PT. (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (disingkat“Garuda Indonesia”).Adapun duduk perkara adalah sebagai berikut. Bahwa Terlapor adalahbadan usaha yang berbentuk badan hukum dengan kegiatan usaha antara lain melaksanakan penerbangan domestik dan internasional komersial berjadwal untuk penumpang serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan penerbangan. Untuk mendukung kegiatan usaha penerbangannya tersebut, Terlapor mengembangkan sistem ARGA sebagai sistem informasi pengangkutan udara domestik. Sedangkan untuk sistem informasi penerbangan internasional,Terlapor bekerjasama dengan penyedia CRS dalam bentuk perjanjian distribusi Sistem informasi ini digunakan oleh biro perjalanan wisata untuk melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan Terlapor secaraonline . Bahwa akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, semakin menambah beban keuanganTerlapor yang memaksanya untuk melakukan pemotongan biaya-biaya.Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb terminal Terlapor disetiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan sistem ARGA di dalam terminal Abacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000, Terlapor dan Saksi Imenyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di wilayah Indonesia hanya dilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus. Kebijakandual access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis. Hal ini telah diakuioleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkan oleh Saksi I kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karena biaya transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah. Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistem Abacus bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata diIndonesia dalam melakukan reservasi danbooking tiket penerbangan. Semakinbanyak biro perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacusuntuk melakukan reservasi dan booking penerbangan internasional Terlaporyang pada akhirnya akan mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional Terlapor. Terlapor hanya akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakansistem Abacus sebagai agen pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasai penerbangan domestik dan kemudahan untuk menjadi agen maskapai lain, menjadi daya tarik bagi biro perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasi domestik Terlapor. Bahwa sistem ARGA yang hanya disertakan pada terminal Abacus mengakibatkan sistem lain mengalami kesulitan untuk memasarkanke biro perjalanan wisata karena biro perjalanan wisata lebih memilih sistemAbacus yang memberi kemudahan untuk memperoleh sambungan sistem ARGA.Untuk mendukung kebijakan dual access , Terlapor menambahkan persyaratanbagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk sebagai agen pasasi domestik,yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu untuk selanjutnya mendapatkan terminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutan/dibuka sambungan kesistem ARGA ( persyaratan Abacus connection ). KPPU Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14UU NO. 5 tahun 1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjutatas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasivertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Dengan kegiatan usaha Terlapor adalah melaksanakan penerbangan komersial berjadwal untuk penumpang domestik dan internasional dengan mengoperasikan pesawat sebagai sarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara ini, penguasaan proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh Terlapor adalah penguasaan proses yangberlanjut atas layanan informasi dan jasa distribusi tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.

9.    PERJANJIAN TERTUTUP
Dalam Pasal 15 UU No 5 Tahun 1999, Perjanjian tertutup yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan mamasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Contoh kasus:
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15 ayat 1. Pada kasus ini Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium DistributorSemen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga melakukan pelanggaran atas UU No. 5tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para Langganan Tetap (LT) di Area 4 untuk menjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan kepada LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja. Bahwa adanya aturan yang diterapkan oleh Konsorsium tentang larangan bagi LT menjual merek semen selain Semen Gresik, menyebabkan salah satu LT di Area 4 mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor XI karena menjual semen merek lain selain Semen Gresik dan dianggap oleh oknum-oknum Terlapor XI kurang menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum ada Konsorsium, LT dapat membeli Semen Gresik kepada Distributor yang mana sajadan dapat melakukan negosiasi harga, namun setelah ada Konsorsium, LT hanya bisa membeli kepada Distributor tertentu dengan harga yang telah ditetapkan. Terlapor mendalilkan bahwa maksud pembentukan Konsorsium adalah untuk menghadapi para LT dan toko yang sering “mengadu domba” Terlapor I,Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, TerlaporVIII, Terlapor IX, dan Terlapor X yang mengakibatkan terjadinya perang harga antar Distributor. Bahwa tujuan pembentukan Konsorsium adalah untuk menghilangkan perang harga di antara para Anggota Konsorsium. Namun KPPU menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, TerlaporIV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, dan Terlapor XI terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

10.  PERJANJIAN DENGAN PIHAK LUAR NEGERI
Perjanjian dengan pihak luar negeri dilarang dalam Pasal 16 UU No 5 Tahun 1999, karena pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Contoh kasus:
Kasus Temasek ini merupakan kasus kedua yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha Indonesia terhadap perusahaan yang didirikan, berkedudukan dan melakukan kegiatan bisnisnya melalui wilayah di luar negara Republik Indonesia adalah perkara No. 07/KPPU-L/2007 atau yang lebih dikenal dengan Kasus Temasek. Dalam kasus ini yang menjadi terlapor dan berada di luar negeri adalah delapan perusahaan yang berada di Singapore dan satu perusahaan yang berada di Mauritius yaitu; Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore, Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd., Singapore, STT Communications Ltd, Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Indonesian Communication Limited, Mauritius, Indonesian Communication Pte.Ltd., Singapore, SingaporeTelecommunication Ltd., Singapore, dan Singapore Telecom Mobile Pte.Ltd., Singapore.Kesemua perusahaan ini dikenal dengan Temasek Group atau Kelompok Temasek. Kelompok Temasek melalui anak perusahaannya yaitu STT memilikisaham sebesar 41,94% saham pada PT. Indosat, dan melalui Singtel memilikisaham sebesar 35% pada PT. Teleksel. Kelompok Temasek oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha kemudian dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 a. Karena telah melakukan kepemilikan silang terhadap Telkomsel dan Indosat sehinggamengakibatkan dampak anti persaingan usaha dalam pelayanan telekomunikasi seluler di Indonesia. Temasek juga dinyatakan melanggar Pasal 17 ayat 1 karena melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehingga menyebabkan dampak anti persaingan usaha.Kelompok Temasek mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksa Kelompok Temasek karena didirikan bukan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak melakukan aktivitasnya di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pendapat Hikmahanto Juwana yang menyatakan bahwa KPPU tidak dapat menggunakan yurisdiksi teritorial karena hukum Indonesia tidak mengakui konsep ekonomi tunggal. Lebih lanjutbeliau menyatakan bahwa KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi personalkarena STT tidak didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan bukanlah suatuentitas Indonesia. KPPU juga tidak dapat menggunakan yurisdiksi universal olehkarena yurisdiksi tersebut hanya berlaku terbatas pada kejahatan internasional. Namun KPPU berpendapat bahwa KPPU berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Kelompok Temasek yang pada intinya dengan alasan, diantaranya; bahwa Kelompok Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur setiap orang atau badan usaha sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 poin 5 UU No. 5 Tahun 1999, yang berdasarkan pada prinsip “single economic entity doctrine”  dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan dengan anak perusahaan dimanaanak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalamsatu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luaryurisdiksi Hukum Persaingan Usaha suatu negara, sehingga hukum persainganusaha dapat bersifat extraterritorial.

Beberapa kegiatan yang dialarang dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS, sebagai berikut:
1.    MONOPOLI
Dalam pasal 1 UU No 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan monopoli dalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Kemudian dalam pasal 17 UU No 5 Tahun 1999 kegiatan monopoli dilarang karena pelaku usaha melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan hal tersebut apabila:
a.       Barang atau jasa yang bersangkutan belum da subsitusinya
b.      Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama
c.       Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Contoh kasus:
Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5  Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
Akuisisi  biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya  dikenal dengan istilah acquisition atau take over . pengertian acquisition atau take over  adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over  sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.
Majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999.
Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena  nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.
2.    MONOPSONI
Yang dimaksud monopsoni dalam Pasal 18 UU No 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha dilarang menguasi penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Contoh kasus: Monopsoni terhadap pasokan susu
Terkait dugaan monopsoni pasokan susu di Jawa Timur (Jatim) yang dilakukan oleh salah satu Industri Pengolahan Susu (IPS), Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU RI) tengah melakukan monitoring. Monitoring dilakukan untuk mengetahui lebih dalam tentang kasus yang terjadi. Saat ini KPPU masih terus melakukan monitoring. Pada intinya, yang kita tangkap sejauh ini bahwa peternak sapi perah di Jatim lemah dan tidak memiliki daya tawar.Ini disebabkan oleh ketergantungan mereka kepada salah satu IPS, kaya Kasubdit Monitoring Pelaku Usaha KPPU RI, M Noor Rofieq kepada kabarbisnis.com di Surabaya, Jumat (5/6/09).
Noor mengatakan, dari indikasi tersebut, KPPU akan mencari tahu apa penyebabnya. Apakah disebabkan oleh dominasi pelaku usaha yang digunakan untuk menekan petani ataukah karena kebijakan pemerintah membuka kran impor susu. Noor juga mengatakan bahwa dalam ketentuannya, jika pelaku pasar menguasai pasokan lebih dari 50%, maka KPPU berhak dan wajib melakukan monitoring. Saat ini kami masih dalam tahap melakukan kompilasi data dan informasi. Kami tidak akan gegabah dengan menyalahkan pengusaha, karena semua ada aturannya, paparnya.
Meski saat ini pemerintah juga telah memberlakukan bea masuk susu impor 5%, namun Noor mengaku akan tetap melakukan monitoring. Karena bea masuk 5% belum tentu sudah melindungi petani dari ketertindasan. Usaha yang sehat terletak pada perilaku dari pengusaha itu sendiri. Jika mereka masih tetap menekan peternak dengan memberikan harga semaunya sendiri, sama juga bohong, katanya. Sejauh ini, monitoring yang dilakukan KPPU telah berjalan selama 30 hari dan akan terus berlanjut hingga 90 hari. Kalau dirasa belum cukup data, maka monitoring akan diperpanjang hingga 60 hari.
Jika terbukti perilaku salah satu IPS tersebut merugikan persaingan dengan melakukan monopsoni pasokan susu, maka KPPU akan mempermasalahkannya dengan melakukan upaya hukum yang sesuai dengan aturan yang telah ada, tandasnya. Seperti telah diberitakan sebelumnya, salah satu IPS terbesar di Jatim, dalam hal ini PT Nestle telah menguasai pasokan susu sebesar 90% lebih. Mereka dengan seenaknya menentukan harga jual susu segar dan hal ini membuat peternak sapi perah yang menyetorkan susunya ke PT Nestle tidak bisa berkutik.
Kasus ini jelas mengarah pada larangan monopsoni yang pelaku usahanya itu menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal dan ini jelas melanggar UU No 5 Tahun 1999.

3.    PENGUASAAN PASAR
Pada pasal 19 UU No 5 Tahun 1999, menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaiangan usaha tidak sehatcberupa:
a.       Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
b.      Atau mematikan usaha persaingannya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Contoh kasus:
Penguasaan pasar di tangan Astro memang mengubah kebiasaan masyrakat banyak. Kini hanya mereka yang sanggup membayar Rp. 200 ribu per bulan dengan berlangganan Astro yang dapat menyaksikan sebuah liga sepakbola yang sering disebut sebagai paling kompetitif dan atraktif di dunia tersebut. Mayoritas penggemar lainnya akan hanya bisa mendengarkan cuplikan beritanya, karena satu alasan sederhana: tarif berlangganan itu terlalu tinggi untuk kondisi ekonomi mereka yang memang sangat terbatas.
Namun tentu saja, yang mengeluh bukan hanya kaum miskin. Isu ini juga diangkat oleh para pengelola lembaga penyiaran berlangganan pesaing Astro yang kehilangan salah satu program unggulan mereka. Yang dikuatirkan, monopoli di tangan Astro akan merebut pangsa pasar yang jumlahnya sudah sangat terbatas .
Dalam studi kasus monopoli siaran liga Inggris yang dilakukan oleh Astro TV banyak pasal yang bisa dikaitkan atau dikenakan, dalam pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa : menolak dan atau menghalangai pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ada dua aspek tentang penyiaran Liga Inggris, yaitu ada hak publik dan sisi keadilan berbisnis. Hak publik harus segera dikembalikan ke publik. Masyarakat tidak mau tahu mengenai tender internasional hak siar Liga Inggris yang dimenangkan oleh ESPN Star Sport, dan untuk Indonesia hak siar tersebut dipegang hanya oleh Astro. Masyarakat hanya mengharapkan mereka bisa melihat siaran Liga Inggris dengan mudah dan gratis di TV mana pun. Mengenai aspek kedua terkait Liga Inggris, adalah dari sisi keadilan berbisnis. Hal inilah yang akan dibawa dan diselesaikan ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha).

4.    PERSEKONGKOLAN
Berdasarkan pasal 22 UU No 5 Tahun 1999, persekongkolan, bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain unyuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha juga dilarang bersekongkol demi untuk emndapatkan informasi kegiatan usaha orang lain yang diklasifikasikan menjadi rahasia perusahaan. Tentu juga pelaku usaha juga dilarang menghambat proses produksi atau pemasaran dari pelaku usaha lain.
Contoh kasus:
 Pada kesempatan ini, saya akan membahas mengenai persekongkolan tender pengadaan bangkalan sapi impor di Dinas Peternakan Jawa Timur. Perkara ini berawal dari laporan yang menyampaikan terdapat pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999 yaitu indikasi persekongkolan tender antara Dinas Peternakan Jawa Timur, panitia tender serta peserta tender yaitu Koperasi Pribumi Jawa Timur (KOPI Jatim) dalam pengadaan bangkalan sapi impor. Setelah dinyatakan laporan tersebut lengkap dan jelas (sebagaimana telah diuraikan pada artikel terdahulu), laporan tersebut masuk ke dalam tahap penanganan perkara dengan dilakukannya pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan serta penyelidikan lapangan.
Dari pemeriksaan terungkap bahwa telah terjadi persekongkolan dan atau kerjasam anatar KOPI Jatim dengan Panitia Tender dan atau pihak yang berhubungan dengan Panitia Tender yaitu dalam hal ini Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur. Persekongkolan dan atau kerjasama tersebut terjadi dalam mengatur, menentukan, dan mengarahkan proses tender untuk kepentingan KOPI Jatim melalui perlakuan eksklusif (khusus) dan keringanan persyaratan tender terhadap KOPI Jatim yang berbeda dengan peserta tender yang lain.
Berdasarkan fakta-fakta yang didapat, KPPU memutuskan:
1.      Menyatakan KOPI Jatim telah melanggar ketentuan pasal 22 UU No. 5/1999 karena melakukan persekongkolan tender dengan pihak lain yaitu Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur dan Ketua Panitia Tender dalam mengatur penentuan pemenang tender dalam pengadaan bangkalan sapi impor dari Australia dalam proyek pembangunan dan Pembinaan Peternakan di Kabupaten/Kota se-Jawa Timur Tahun Anggaran 2000
2.      Melarang KOPI Jatim untuk mengikuti kegiatan pengadaan sapi bangkalan atau kegiatan serupa di jawa Timur dan atau wilayah Republik Indonesia selama dipimpin oleh pengurus yang pada saat pembacaan Putusan ini masih menjabat untuk kurun waktu 2 tahun terhitung sejak tanggal putusan dibacakan.
3.      menyarankan gubernur Jawa Timur sebagai atasa langsung Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur dan Ketua Panitia Tender untuk mengambil tindakan administratif sehubungan dengan keterlibatan keduanya dalam pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999.
Demikian contoh kasus yang telah diputusakan KPPU mengenai perjanjian yang dilarang.