UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999
TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Beberapa Perjanjian
yang Dilarang dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS, sebagai
berikut:
1.
OLIGOPOLI
Oligopoli
dari segi bahasa berasal dari kata olio yang berarti beberapa dan poli yang
artinya penjual adalah pasar di mana penawaran satu jenis barang dikuasai oleh
beberapa perusahaan. Umumnya jumlah perusahaan lebih dari dua tetapi kurang
dari sepuluh.
Berdasarkan UU
No 5 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1 Oligopoli adalah “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat”. Yang pelaku usahanya menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Contoh
kasus:
Perilaku
Oligopoli pada Industri Telekomunikasi
Ada hal menarik yang dapat dicermati
dari gencarnya perang tarif percakapan melalui telepon seluler akhir-akhir ini,
yaitu masing-masing provider mengklaim bahwa mereka telah memberikan harga
terbaik bagi para pelanggannya. Simak saja misalnya bagaimana perilaku tiga
operator telepon seluler terbesar di Indonesia (PT. Telkomsel, PT. Indosat, dan
PT. Exelcomindo Pratama) dalam mengibarkan bendera perang pemasaran dengan
menawarkan tarif percakapan di bawah Rp1 per detik. Terlepas dari iming-iming
menarik yang ditawarkan, perang tarif yang diluncurkan para operator telepon
seluler kini sebenarnya sudah memasuki ranah yang mengusik perhatian kita kalau
tidak mau dikatakan sudah membingungkan atau bahkan menjebak bagi pelanggan
individual.
Kreatifitas para operator dalam
merumuskan skema tarif percakapan ternyata mampu mengacak-acak perilaku
pelanggan sehingga membuat pelanggan individual seringkali penasaran dan
terpancing emosinya. Simak saja bagaimana operator XL menawarkan tarif Rp 0,1
per detik ke sesama operator; sementara Telkomsel Simpati PeDe menawarkan
Rp 0,5 per detik. Indosat Mentari menawarkan Rp 0 pada menit pertama ke
sesama operator; dan IM3 menawarkan tarif Rp 0,01 per detik ke seluruh operator
untuk percakapan 90 detik pertama dan selebihnya menggunakan tarif Rp 15 per
detik ke sesama operator dan Rp25 per detik ke operator lain. Belum lagi,
operator-operator lain kini juga mulai sibuk menawarkan tarif paling murah ke
sesama pelanggan dengan syarat dan kondisi tertentu.
Penyelesaian:
Seperti
yang di jelaskan pada pasal 4 ayat 1 undang undang nomor 5 tahun 1999 bahwa pelaku
usaha tidak boleh melakukan kerja sama dengan pelaku usaha lain untuk
menetapkan harga secara tidak sehat atau dengan tujuan menguasai usaha. Seperti
yang di lakukan oleh operator di Indonesia mereka berlomba-lomba memberikan
tarif yang paling murah dari pada pesaing mereka dengan harapan produk mereka
lebih di minati oleh konsumen namun yang terjadi di sini adalah pemberian harga
yang tidak sehat karena dengan promosi yang berlebihan dengan menyebutkan harga
yang murah sajamereka menjerat konsumen dengan skema harga yang tidak jelas dan
transparan, seperti sebagai contoh untuk mendapatkan harga yang di maksud
konsumen harus melakukan panggilan minimal 1menit dengan tarif 2-3x biaya
telefon seharus nya sehinnga hal tersebut merugikan masyarkat. Ada baik nya
pelaku bisnis operator telefon di indonesia melakukan persaingan secara sehat
dan tidak menerapkan skema harga yang ‘nakal’ atau tidak jelas seperti yang
sekarang banyak beredar di masyarakat. Untuk mengetasi masalah tersebut ada
baik nya jika pemerintah melakukan monopoli secara penuh sehingga masyarakat
dapat merasa aman dan tidak ada permainan harga dari pihak pelaku usaha dengan
jenis oligopoli ini. Karena dengan pemerintah memegang kendali secara penuh
tidak ada lagi permainan harga yang dapat di lakukan sehingga semua menjadi
seragam.
2.
PENETAPAN
HARGA
Yakni suatu
strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan membuat perjanjian dengan
pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama.
Contoh kasus:
Adalah perkara penetapan harga yang didukung oleh
asosiasi pengusaha angkutan jalan raya (Organda DKI Jakarta), didasarkan pada
Putusan Nomor 05/KPPU-I/2003 tentang Penetapan Harga Tarif Bus Kota Patas AC.
Dugaan penetapan harga ditujukan pada penyelenggara angkutan umum, yakni PT
Steady Safe, Tbk., PT Mayasari Bakti, Perum PPD, PT Bianglala Metropolitan, PT
Pahala Kencana, dan PT AJA Putra. Dugaan berawal dari kesepakatan di antara
pengusaha angkutan jalan raya yang tergabung dalam Organda, untuk menaikkan
tarif angkutan Bus Kota Patas AC sebesar Rp. 3.300, dengan menerbitkan Surat
Keputusan Nomor Skep-115/DPD/IX/2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan Umum
Bus Kota Patas AC di Wilayah DKI Jakarta. Berdasarkan surat ini, mereka yang
tergabung dalam asosiasi, yakni DPD Organda DKI Jakarta, kemudian mengajukan
surat kepada Gubernur Propinsi DKI Jakarta untuk konsultansi tarif Bus Kota
Patas AC. Sesuai dengan permohonan tersebut, maka Gubernur mengeluarkan Surat
Nomor 2640/-1.811.33 tanggal 4 September 2001 mengenai Penyesuaian Tarif
Angkutan, dari Rp. 2.500,- menjadi Rp. 3.300,-.
Alasan yang digunakan oleh para pengusaha angkutan
tersebut antara lain adalah meningkatnya harga bahan bakar dan spare parts,
sehingga mereka menganggap bahwa tarif yang berlaku saat ini terlalu rendah
atau di bawah biaya pokok angkutan. Oleh karena itu, mereka sepakat untuk
menaikkan tarif secara seragam, meskipun terdapat beberapa pengusaha angkutan
yang hanya memiliki sedikit armada bus, mengaku tidak memiliki kekuatan untuk
menentukan besarnya tarif angkutan tersebut, sehingga hanya mengikuti saja
kesepakatan di antara pihak penentu. Kesepakatan mengenai penyeragaman tarif
ini diakui beberapa penyelenggara angkutan sebagai bertentangan dengan jiwa
persaingan, karena seharusnya yang berhak menentukan besarnya tarif angkutan
adalah para penyelenggara, disesuaikan dengan biaya produksi masing-masing
operator bus kota.
Berdasarkan bukti-bukti dan pengakuan para pengusaha
dan saksi-saksi, maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha memutuskan bahwa
kesepakatan di antara para penyelenggara angkutan Bus Kota tersebut di atas
melanggar Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, dan menetapkan pembatalan
kesepakatan penyesuaian tarif bus kota Patas AC dari Rp. 2.500,- menjadi Rp.
3.300,- per-penumpang.
3.
PEMBAGIAN
WILAYAH
Yakni
suatu startegi yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan mebuat perjanjian dengan
pelaku usaha saingannya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau
alokasi pasar terhadap barang atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Contoh
Kasus:
Adapun para
Terlapor dalam kasus ini adalah Terlapor I adalah Dewan Pengurus Pusat Asosiasi
Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPP AKLI),Terlapor II Dewan
Pengurus Daerah Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanika l Indonesia (DPD AKLI)
Sulawesi Selatan, Terlapor III Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor
Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Palopo, Terlapor IV Dewan Pengurus
Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu
Utara, Terlapor V Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Kontraktor Listrik dan
Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Luwu Timur, Terlapor VI Dewan Pengurus Cabang
Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (DPC AKLI) Tana
Toraja.Bahwa Terlapor I adalah asosiasi perusahaan yang bergerak di bidang pekerjaan
elektrikal dan mekanikal yang bertujuan membina anggota-anggotanya untuk dapat
memenuhi tugas dan tanggung jawab dalam proses pembangunan Indonesia di bidang
ketenagalistrikan. Terlapor I memiliki 32 (tiga puluh dua) Dewan Pengurus
Daerah (DPD), 121 (seratus dua puluh satu) Dewan Pengurus Cabang(DPC), dan 4806
(empat ribu delapan ratus enam) badan usaha instalatir. Terlapor II adalah
pengurus daerah Terlapor I di Propinsi Sulawesi Selatan,Terlapor II membawahi 9
(sembilan) DPC dan memiliki anggota sebanyak 173(seratus tujuh puluh tiga)
badan usaha instalatir. Terlapor III adalah pengurus cabang Terlapor I di Kota
Palopo, Sulawesi Selatan, dan memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota
badan instalatir. Terlapor IV adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten
Luwu Utara, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 11 (sebelas) anggota
badan instalatir. Terlapor V adalah pengurus cabang Terlapor I di Kabupaten
Luwu Timur, Sulawesi Selatan, memiliki anggota sebanyak 10 (sepuluh) anggota
badan instalatir. KPPU berpendapat berdasarkan bukti-bukti bahwa Terlapor I
melaluiTerlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, dan
DPC-DPC lain diwilayah Sulawesi Selatan, membagi wilayah kerja PJT berdasarkan
wilayah cabang PT. PLN (Persero) di Sulawesi Selatan. Namun khusus di wilayah
PT. PLN (Persero) Cabang Palopo, Terlapor II membagi lagi wilayah kerja PJT (
Penanggung JawabTeknik) menjadi 4 (empat) wilayah berdasarkan tempat kedudukan
DPC berada, yaitu: Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan Terlapor VI.
Pembagian wilayah PJTdalam SP-PJT oleh Terlapor I dapat dikategorikan sebagai
perjanjian dilaksanakan oleh Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor
V, dan Terlapor VI.Adapun yang menjadi alasan dari Terlapor I membagi wilayah
kerja PJT melalui SP-PJT adalah untuk keselamatan dan keamanan instalasi, serta
memberdayakan potensi sumber daya PJT setempat.
Pembagian
wilayah kerja PJT yang dilakukan oleh Terlapor I di daerah Sulawesi Selatan
melalui Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, TerlaporVI, dan
DPCDPC lainnya di Sulawesi Selatan ini, menimbulkan dampak badan usaha instalatir
tidak dapat menggunakan PJT-nya di wilayah lain dan harus menggunakan jasa PJT
setempat yang menjadi pegawai di badan usaha instalatir. Putusan ini
menunjukkan kepada kita bahwa suatu assosiasi perusahaandapat digunakan untuk
melakukan aktivitas ataupun perjanjian-perjanjian yang anti persaingan. Dengan
adanya pembagian wilayah tersebut, maka kiranya jelas hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Pada sisi lain tidak
ditemukan adanya alasan-alasan yang dapat membenarkan perbuatan tersebut
4.
PEMBOIKOTAN
Pemboikotan
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnnya,
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang ama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Yang nantinya akibat
dari perjanjian tersebut adalah merugikan atau dapat diduga akan merugikan
pelaku usaha lain dan membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli
setiap brang atau jasa dari pasar berangkutan. Perjanjian pemboikotan ini
diatur dalam Pasal 10 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM dan PTUS.
Contoh
Kasus:
Secara
singkat duduk persoalan dalam kasus ini adalah sebagai berikut.Pelapor dalam
kasus ini adalah Northwest Wholsale Stationers adalah sebuahkoperasi agen
pembelian yang terdiri dari kurang lebih retailer alat-alat kantor di
Pacifc Northwest
US. Koperasi bertindak sebagai retailer utama bagi
retail-retaillainnya.Retailer yang bukan anggota dapat membeli alat-lata
kantor dengan hargayang sama dengan anggota. Namun pada setiap akhir tahun
koperasi membagikankeuntungan kepada anggotanya dalam bentuk percentase
rebate dalam pembelian.Sehingga sebenarnya anggota membeli lebih rendah
dari non anggota. Sementara Terlapor Pacifc Stationery Co. adalah menjual alat
kantor baik retail maupun wholesale . Pacifc menjadi anggota Northwest sejak
tahun 1958. Pada tahun 1978 Northwest merubah anggaran dasarnya dengan melarang
anggotanyamenjual retail dan wholesale . Suatu klausula menjamin hak Pacifc untuk
menjadianggota. Pada tahun 1977 kepemilikan Pacic berpindah tangan, namun pemilik
baru ini tidak melakukan perubahan kegiatannya, hal mana bertentangan
dengananggaran dasar Northwest. Pada tahun 1978 sebagian besar anggota
Northwest 140 472 US 284 (1985) memutuskan untuk mengeluarkan Pacc. Pacifc kemudian
membawa perkara ini ke pengadilan berdasarkan group boycott yang
membatasi kemampuan Paciifc untuk berkompetisi karena harus dinyatakan
melanggar hukum persiangan secara per se illegal .Pengadilan Negeri
menyatakan tidak terdapat pelanggaran hukumpersaingan secaraper se
illegal karenanya harus dipreriksa secara rule of reason Namun
Pengadilan Banding menyatakan bahwa Northwest melanggar Sherman Act secara per
se illegal.
5.
KARTEL
Kartel
adalah suatu perjnjian yang dialkukan oelh pelaku usaha dengan peaku usaha
pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi
dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Kartel ini diatur di
dalam Pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Contoh
kasus:
Contoh kasus
mengenai kartel yang pernah diputus oleh KPPUyaitu Putusan No. 03/KPPU-I/2003
mengenai Kargo Surabaya-Makasar. Adapunduduk perkaranya adalah sebagai berikut
Tujuh perusahaan pelayaran yaitu PT.Meratus, PT. Tempuran Emas, PT. Djakarta
Lloyd, PT. Jayakusuma Perdana Lines,PT. Samudera Indonesia, PT. Tanto Intim
Line, dan PT. Lumintu Sinar Perkasa padaRapat Pertemuan Bisnis di Ruang Rapat
MPH I Hotel Elmi Surabaya pada hariSenin tanggal 23 Desember 2002 yang dihadiri
para Terlapor, Saksi I dan Saksi III telah disepakati penetapan tarif dan kuota
yang kemudian dituangkan dalamBerita Acara Pertemuan Bisnis di Hotel Elmi
Surabaya dan masing-masing pihakmengakui dan membubuhkan tanda tangan atas
dokumen kesepakatan tarif dankuota. Pelaksanaan kesepakatan tahap I mulai
berlaku sejak 1 Januari 2003sampai dengan 31 Maret 2003.Unsur Pasar 11 UU No. 5
Tahun 1999 pada intinya adalah adanya kesepakatanantar perusahaan yang bersaing
untuk mengatur produksi dan atau pemasaransuatu barang atau jasa yang ditujukan
untuk mempengaruhi harga dan dapatmengakibatkan terjadinya persaingan usaha
yang tidak sehat. Dengan ditetapkannya kuota bongkar muat tersebut, para
Terlapor telahmengatur produksi jasa pengangkutan laut khusus barang (kargo)
dari paraTerlapor yang melayani jalur Surabaya – Makassar – Surabaya dan
Makassar –Jakarta – Makassar, yang bertujuan mencegah terjadinya perang harga.
Disamping
itu dengan ditetapkannya kuota bongkar muat peti kemas tersebut para Terlapor
telah melakukan tindakan yang meniadakan persaingan usaha antara anggota
kartel. Dengan demikian para Terlapor telah melakukan praktek usaha persaingan
tidak sehat sehingga melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
6.
TRUST
Trust
adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha
lainnya untuk melkukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan
kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadnya praktek monopoli dan atau
persaingan tidak sehat. Trust ini diatur dalam Pasal 12 UU No 5 Tahun 1999
Tentang LPM Dan PTUS.
Trust
terjadi dimana sejumlah perusahaan menyerahkan saham mereka pada suatu “badan
trustee ” yang kemudian memberikan sertikat dengan nilai yang sama kepada
anggota trust. Trust pertama yang sangat terkenal adalah Standard Oil yang
terbentuk pada tahun 1882, yang kemudian diikuti olehbanyak industri lainnya.
Hal ini menyebabkan banyaknya kemajuan-kemajuan di Amerika. Namun, karena
trust juga mengakibatkan adanya pemusatan kekuasaan, maka trust dianggap
suatu yang melanggar hukum. Undang-undang No.5/1999, menyatakan bahwa
trust merupakan salah satuperjanjian yang dilarang untuk dilakukan
Contoh
kasus:
Salah
satu putusan landmark mengenai Trust ini adalah kasus Standard Oil
Company of New Jersey vs. United States. Secara singkat kasusnya adalahse bagai
berikut: Para Tergugat didakwa melakukan konspirasi untuk menghambatperdagangan
minyak, penyulingan minyak dan produk-produk minyak lainnya.Konspirasi telah
dimulai sejak tahun 1870 oleh ketiga dari Terdakwa yaitu John D.Rockeffeller,
William Rockefeller dan Hendri M. Flagler. Adapun masa konspirasi ini dibagi
dalam tiga periode yaitu tahun 1870 – 1882, dari tahun 1882 – 1899 dan1899 –
sampai adanya perkara.Pada tahun 1870 – 1882, John D. Rockefeller dan William
Rockefeller dan beberapa orang lainnya membuat tiga partnership yang
bergerak dibidang perminyakan dan mengapalkannya kebeberapa Negara bagian. Pada
tahun 1870 dibentuklah Standard Oil Company of Ohio dan ketiga
partnership ini digabungkandalam perusahaan ini dan menjadi milik bersama
sesuai dengan sahamnyamasing-masing. Bahwa sejak itu telah dilakukan
penggabungan-penggabungan.Sejak tahun 1872 perusahaan tersebut telah
mendapatkan pangsa pasar yang substansial kecuali 3 atau 4 dari 35 atau 40
penyulingan minyak yang berlokasi di Cleveland, Ohio. Berdasarkan pada kekuatan
ini, dan sesuai dengan tujuannya untukmembatasi dan memonopoli perdagangan baik
antar Negara bagian maupun pada Negara bagian tersebut, maka anggota
mendapatkan banyak kemudahaan baik dari harga, transport (railroad)
dibandingkan kompetitornya. Hal ini memaksa kopetitor untuk menjadi bagian dari
perjanjian atau menjadi bangkrut. Para pihak yangtergabung pada saat itu telah
menguasai 90% dari bisnis produksi, pengapalan, penyulingan dan penjualan
minyak dan produknya. Pada periode kedua yaitu tahun 1882 – 1899 dimana saham
dari 40perusahaan termasuk Standard Oil Company of Ohio diletakkan pada suatu
Trustee dan ahli warisnya untuk kepentingan semua pihak secara
bersama. Perjanjian ini dibuat dengan mengeluarkan sertifikat Standard Oil Trust.
Setelah itu Trustee jugamembuat atau mengorganisir Standard Oil Company
of New jersey dan Standard OilCompany of New York. Akhirnya MA pada tanggal 2
Maret 1892 menyatakan bahwa Trustee ini batal demi hukum karena
perjanjian tersebut menghambat perdagangandan berpuncak pada pembentukan
monopoli yang melanggar hukum.
7.
OLIGOPSONI
Suatu
perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuksecara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan
agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Larangan oligopsoni ini diatur dalam Pasal 13 UU
No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Contoh
kasus:
Pada
kesempatan ini juga akan dijelaskan lebih lanjut dengan membahas kasus
oligopsoni In re BEEF INDUSTRY ANTITRUST LITIGATION MDL DOCKET NO.248. MEAT
PRICE INVESTIGATORS ASSOCIATION, an Iowa unincorporated associationand
trust , et al., Plaintiffs-Appellants, vs. IOWA BEEF PROCESSORS, INC.
(nowknown as IBP, Inc.), a Delaware Corporation, et al., Defendants-Appellees
(No.89-1483.Aug. 1,1990. Adapun secara ringkas kasusnya adalah sebagai
berikut.Assosasi Investigator Harga Daging dan beberapa peternak sapi,
mengajukan IowaBeef Processors, Inc., Excel Corporation dan The National
Provisioners, Inc. (The Yellow Sheet ke Pengadilan pada tahun 1977.
Adapun yang menjadi alasanadalah bahwa retailer dan packers
(pengepak) melakukan konspirasi baik secarahorisontal maupun vertikal untuk
menurunkan harga dari sapi.Mereka mendalilkan bahwa konspirasi ini mengikuti
skema penetapanharga. The National Provisioner mempublikasikan setiap
hari harga produk sapipada the Yellow Sheet The Yellow Sheet
mendasarkan publikasinya laporan dariharga komoditas tersebut pada saat itu.
Para pengepak menggunakan harga the Yellow Sheet untuk menentukan
harga yang mereka tawarkan kepada peternaksapi.Pengepak mendalilkan bahwa
seperti ditemukan oleh Pengadilan Negeri,bahwa the Yellow Sheet adalah
informasi publik yang dapat dibeli dan digunakanoleh semua pihak. Mereka juga
mendalilkan bahwa peternak sapi tidak mempunyaibukti bahwa telah terjadi
parallel pricing oleh IBP dan Excel yang merupakanindependen
bisnis.Tergugat juga mempunyai bukti yang cukup, bahwa the Yellow Sheet
adalah merupakan salah satu faktor, masih terdapat faktor-faktor lain
yangmenjadi pertimbangan pengepak dalam menentukan harganya yaitu:
Pertamakebutuhan pengepak itu sendiri untuk menentukan kebutuhannya akan
dagingsetiap minggunya, termasuk dalam hal ini kontrak dengan buruh yang tetap
harusdibayar terlepas ada pekerjaan atau tidak; Kedua kondisi pasar pada saat
itu apakah over supply atau tidak; Ketiga, persaingan harga antara
pengepak; Keempat adalah harga berdasarkan pasar produk yang dapat
memaksapengepak membayar lebih mahal atau lebih murah dari daftar harga dalam
the Yellow Sheet .Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut, maka
Pengadilan Banding menolakklaim dari peternak sapi. Apabila Penggugat
mendalilkan adanya concious paralellism , maka syaratnya haruslah
terdapat parralel antar tergugat. Pengadilan menyatakan bahwa tidak terdapat
paralellism antara para tergugat.
8.
INTEGRASI
VERTIKAL
Adalah
suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suaturangkaian
langsung maupun tidak langsung, nyang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Integrasi vertikal ini di atur dalam
Pasal 14 UU No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS.
Contoh
Kasus:
Salah satu
kasus yang pernah diputus oleh KPPU adalah apa yang dikenal dengan kasus Abacus
yaitu Putusan No. 01/KPPU-L/2003. Terlapor dalam kasus ini adalah PT. (Persero)
Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (disingkat“Garuda Indonesia”).Adapun
duduk perkara adalah sebagai berikut. Bahwa Terlapor adalahbadan usaha yang
berbentuk badan hukum dengan kegiatan usaha antara lain melaksanakan
penerbangan domestik dan internasional komersial berjadwal untuk penumpang
serta jasa pelayanan sistem informasi yang berkaitan dengan penerbangan. Untuk
mendukung kegiatan usaha penerbangannya tersebut, Terlapor mengembangkan sistem
ARGA sebagai sistem informasi pengangkutan udara domestik. Sedangkan untuk
sistem informasi penerbangan internasional,Terlapor bekerjasama dengan penyedia
CRS dalam bentuk perjanjian distribusi Sistem informasi ini digunakan oleh biro
perjalanan wisata untuk melakukan reservasi dan booking tiket penerbangan
Terlapor secaraonline . Bahwa akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun
1997, semakin menambah beban keuanganTerlapor yang memaksanya untuk melakukan
pemotongan biaya-biaya.Salah satu upaya yang dilakukan adalah menarik dumb
terminal Terlapor disetiap biro perjalanan wisata, yang kemudian menyertakan
sistem ARGA di dalam terminal Abacus. Bahwa pada tanggal 28 Agustus 2000,
Terlapor dan Saksi Imenyepakati pendistribusian tiket domestik Terlapor di
wilayah Indonesia hanya dilakukan dengan dual access melalui terminal Abacus. Kebijakandual
access tersebut tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis. Hal ini telah
diakuioleh Terlapor dan dikuatkan oleh dokumen yang diserahkan oleh Saksi I
kepada Majelis Komisi. Kesepakatan tersebut di atas ditempuh karena biaya
transaksi penerbangan internasional dengan menggunakan sistem Abacus lebih murah.
Dual access hanya diberikan kepada Saksi I sebagai penyedia sistem Abacus
bertujuan agar. Terlapor dapat mengontrol biro perjalanan wisata diIndonesia
dalam melakukan reservasi danbooking tiket penerbangan. Semakinbanyak biro
perjalanan wisata di Indonesia yang menggunakan sistem Abacusuntuk melakukan
reservasi dan booking penerbangan internasional Terlaporyang pada akhirnya akan
mengurangi biaya transaksi penerbangan internasional Terlapor. Terlapor hanya
akan menunjuk biro perjalanan wisata yang menggunakansistem Abacus sebagai agen
pasasi domestik. Posisi Terlapor yang menguasai penerbangan domestik dan
kemudahan untuk menjadi agen maskapai lain, menjadi daya tarik bagi biro
perjalanan wisata untuk menjadi agen pasasi domestik Terlapor. Bahwa sistem
ARGA yang hanya disertakan pada terminal Abacus mengakibatkan sistem lain
mengalami kesulitan untuk memasarkanke biro perjalanan wisata karena biro
perjalanan wisata lebih memilih sistemAbacus yang memberi kemudahan untuk
memperoleh sambungan sistem ARGA.Untuk mendukung kebijakan dual access ,
Terlapor menambahkan persyaratanbagi biro perjalanan wisata agar dapat ditunjuk
sebagai agen pasasi domestik,yaitu menyediakan sistem Abacus terlebih dahulu
untuk selanjutnya mendapatkan terminal ID biro perjalanan wisata yang bersangkutan/dibuka
sambungan kesistem ARGA ( persyaratan Abacus connection ). KPPU
Berpendapat bahwa PT Garuda Indonesia telah melanggar Pasal 14UU NO. 5 tahun
1999 karena telah melakukan penguasaan serangkaian proses produksi atas barang
tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses berlanjutatas suatu layanan
jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasivertikal meskipun
dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat.
Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat. Dengan kegiatan usaha Terlapor adalah
melaksanakan penerbangan komersial berjadwal untuk penumpang domestik dan internasional
dengan mengoperasikan pesawat sebagai sarana pengangkutan. Bahwa dalam perkara
ini, penguasaan proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh
Terlapor adalah penguasaan proses yangberlanjut atas layanan informasi dan jasa
distribusi tiket penerbangan domestik dan internasional Terlapor.
9.
PERJANJIAN
TERTUTUP
Dalam
Pasal 15 UU No 5 Tahun 1999, Perjanjian tertutup yaitu suatu perjanjian yang
dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan mamasok atau tidak memasok
kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada
tempat tertentu.
Contoh
kasus:
Pada
kesempatan ini akan dibahas mengenai Pasal 15 ayat 1. Pada kasus ini Terlapor
I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII,
Terlapor VIII, Terlapor IX, dan Terlapor X membentuk Konsorsium
DistributorSemen Gresik Area 4. Konsorsium ini diduga melakukan pelanggaran
atas UU No. 5tahun 1999 dalam bentuk mewajibkan para Langganan Tetap (LT) di
Area 4 untuk menjual Semen Gresik. Pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (1) Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan oleh Konsorsium dalam bentuk himbauan kepada
LT untuk bersedia hanya menjual Semen Gresik saja. Bahwa adanya aturan yang
diterapkan oleh Konsorsium tentang larangan bagi LT menjual merek semen selain
Semen Gresik, menyebabkan salah satu LT di Area 4 mengajukan permohonan
pengunduran diri sebagai LT kepada Terlapor XI karena menjual semen merek lain
selain Semen Gresik dan dianggap oleh oknum-oknum Terlapor XI kurang
menguntungkan bagi Terlapor XI. Bahwa sebelum ada Konsorsium, LT dapat membeli
Semen Gresik kepada Distributor yang mana sajadan dapat melakukan negosiasi
harga, namun setelah ada Konsorsium, LT hanya bisa membeli kepada Distributor
tertentu dengan harga yang telah ditetapkan. Terlapor mendalilkan bahwa maksud
pembentukan Konsorsium adalah untuk menghadapi para LT dan toko yang sering
“mengadu domba” Terlapor I,Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V,
Terlapor VI, Terlapor VII, TerlaporVIII, Terlapor IX, dan Terlapor X yang
mengakibatkan terjadinya perang harga antar Distributor. Bahwa tujuan
pembentukan Konsorsium adalah untuk menghilangkan perang harga di antara para
Anggota Konsorsium. Namun KPPU menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II,
Terlapor III, TerlaporIV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII,
Terlapor IX, Terlapor X, dan Terlapor XI terbukti secara sah dan meyakinkan
telah melanggar Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.
10. PERJANJIAN DENGAN PIHAK LUAR NEGERI
Perjanjian
dengan pihak luar negeri dilarang dalam Pasal 16 UU No 5 Tahun 1999, karena
pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
Contoh
kasus:
Kasus
Temasek ini merupakan kasus kedua yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha
Indonesia terhadap perusahaan yang didirikan, berkedudukan dan melakukan
kegiatan bisnisnya melalui wilayah di luar negara Republik Indonesia adalah
perkara No. 07/KPPU-L/2007 atau yang lebih dikenal dengan Kasus Temasek. Dalam
kasus ini yang menjadi terlapor dan berada di luar negeri adalah delapan perusahaan
yang berada di Singapore dan satu perusahaan yang berada di Mauritius yaitu;
Temasek Holding Pte.Ltd., Singapore, Singapore Technologies Telemedia Pte.Ltd.,
Singapore, STT Communications Ltd, Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd.,
Singapore, Asia Mobile Holding Pte.Ltd., Singapore, Indonesian Communication Limited,
Mauritius, Indonesian Communication Pte.Ltd., Singapore,
SingaporeTelecommunication Ltd., Singapore, dan Singapore Telecom Mobile
Pte.Ltd., Singapore.Kesemua perusahaan ini dikenal dengan Temasek Group atau
Kelompok Temasek. Kelompok Temasek melalui anak perusahaannya yaitu STT
memilikisaham sebesar 41,94% saham pada PT. Indosat, dan melalui Singtel
memilikisaham sebesar 35% pada PT. Teleksel. Kelompok Temasek oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha kemudian dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 a. Karena
telah melakukan kepemilikan silang terhadap Telkomsel dan Indosat
sehinggamengakibatkan dampak anti persaingan usaha dalam pelayanan
telekomunikasi seluler di Indonesia. Temasek juga dinyatakan melanggar Pasal 17
ayat 1 karena melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga
tinggi sehingga menyebabkan dampak anti persaingan usaha.Kelompok Temasek
mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksa Kelompok Temasek karena
didirikan bukan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak melakukan aktivitasnya di Indonesia.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Hikmahanto Juwana yang menyatakan bahwa KPPU
tidak dapat menggunakan yurisdiksi teritorial karena hukum Indonesia tidak
mengakui konsep ekonomi tunggal. Lebih lanjutbeliau menyatakan bahwa KPPU juga
tidak dapat menggunakan yurisdiksi personalkarena STT tidak didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan bukanlah suatuentitas Indonesia. KPPU juga
tidak dapat menggunakan yurisdiksi universal olehkarena yurisdiksi tersebut
hanya berlaku terbatas pada kejahatan internasional. Namun KPPU berpendapat
bahwa KPPU berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Kelompok Temasek yang pada
intinya dengan alasan, diantaranya; bahwa Kelompok Temasek adalah badan usaha
sehingga memenuhi unsur setiap orang atau badan usaha sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 poin 5 UU No. 5 Tahun 1999, yang berdasarkan pada prinsip “single
economic entity doctrine” dinyatakan bahwa hubungan induk perusahaan
dengan anak perusahaan dimanaanak perusahaan tidak mempunyai independensi untuk
menentukan arah kebijakan perusahaan. Konsekuensi dari prinsip ini, maka pelaku
usaha dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukan oleh
pelaku usaha lain dalamsatu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang
pertama beroperasi di luaryurisdiksi Hukum Persaingan Usaha suatu negara,
sehingga hukum persainganusaha dapat bersifat extraterritorial.
Beberapa kegiatan yang dialarang
dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang LPM Dan PTUS, sebagai berikut:
1.
MONOPOLI
Dalam
pasal 1 UU No 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan monopoli dalah penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Kemudian
dalam pasal 17 UU No 5 Tahun 1999 kegiatan monopoli dilarang karena pelaku
usaha melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan hal
tersebut apabila:
a. Barang
atau jasa yang bersangkutan belum da subsitusinya
b. Mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama
c. Satu
pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu
Contoh kasus:
Kasus PT
Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999. Salah satu aksi
perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi.
Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham
yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
Akuisisi
biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja
perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition
atau take over . pengertian acquisition atau take over adalah
pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan
lain. Istilah Take over sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly
take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi
yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara
membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari
akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima
hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang
harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh
badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh
perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan
pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain
langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan
pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan
oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap
memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam
mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan
dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu
Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha
lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan
usaha.
Dalam sidang
KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU
No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat..
Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku
usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999
memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.
Majelis
Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan
perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99%
(2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan
ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar
dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2
UU No.5 Tahun 1999.
Berdasarkan
pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini
disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan
potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading
terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms
kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis
Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena nilai penjualan
pemasok di Carrefour cukup signifikan.
2.
MONOPSONI
Yang
dimaksud monopsoni dalam Pasal 18 UU No 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha
dilarang menguasi penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan
atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Contoh
kasus: Monopsoni
terhadap pasokan susu
Terkait
dugaan monopsoni pasokan susu di Jawa Timur (Jatim) yang dilakukan oleh salah
satu Industri Pengolahan Susu (IPS), Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik
Indonesia (KPPU RI) tengah melakukan monitoring. Monitoring dilakukan untuk
mengetahui lebih dalam tentang kasus yang terjadi. Saat ini KPPU masih terus
melakukan monitoring. Pada intinya, yang kita tangkap sejauh ini bahwa peternak
sapi perah di Jatim lemah dan tidak memiliki daya tawar.Ini disebabkan oleh
ketergantungan mereka kepada salah satu IPS, kaya Kasubdit Monitoring Pelaku
Usaha KPPU RI, M Noor Rofieq kepada kabarbisnis.com di Surabaya, Jumat
(5/6/09).
Noor
mengatakan, dari indikasi tersebut, KPPU akan mencari tahu apa penyebabnya.
Apakah disebabkan oleh dominasi pelaku usaha yang digunakan untuk menekan
petani ataukah karena kebijakan pemerintah membuka kran impor susu. Noor juga
mengatakan bahwa dalam ketentuannya, jika pelaku pasar menguasai pasokan lebih
dari 50%, maka KPPU berhak dan wajib melakukan monitoring. Saat ini kami masih
dalam tahap melakukan kompilasi data dan informasi. Kami tidak akan gegabah
dengan menyalahkan pengusaha, karena semua ada aturannya, paparnya.
Meski
saat ini pemerintah juga telah memberlakukan bea masuk susu impor 5%, namun
Noor mengaku akan tetap melakukan monitoring. Karena bea masuk 5% belum tentu
sudah melindungi petani dari ketertindasan. Usaha yang sehat terletak pada
perilaku dari pengusaha itu sendiri. Jika mereka masih tetap menekan peternak
dengan memberikan harga semaunya sendiri, sama juga bohong, katanya. Sejauh
ini, monitoring yang dilakukan KPPU telah berjalan selama 30 hari dan akan
terus berlanjut hingga 90 hari. Kalau dirasa belum cukup data, maka monitoring
akan diperpanjang hingga 60 hari.
Jika
terbukti perilaku salah satu IPS tersebut merugikan persaingan dengan melakukan
monopsoni pasokan susu, maka KPPU akan mempermasalahkannya dengan melakukan
upaya hukum yang sesuai dengan aturan yang telah ada, tandasnya. Seperti telah
diberitakan sebelumnya, salah satu IPS terbesar di Jatim, dalam hal ini PT
Nestle telah menguasai pasokan susu sebesar 90% lebih. Mereka dengan seenaknya
menentukan harga jual susu segar dan hal ini membuat peternak sapi perah yang
menyetorkan susunya ke PT Nestle tidak bisa berkutik.
Kasus
ini jelas mengarah pada larangan monopsoni yang pelaku usahanya itu menguasai
penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal dan ini jelas melanggar UU No 5
Tahun 1999.
3.
PENGUASAAN
PASAR
Pada
pasal 19 UU No 5 Tahun 1999, menyatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan
satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain,
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaiangan usaha
tidak sehatcberupa:
a. Menolak
dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan
b. Atau
mematikan usaha persaingannya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
Contoh
kasus:
Penguasaan pasar di tangan Astro
memang mengubah kebiasaan masyrakat banyak. Kini hanya mereka yang sanggup
membayar Rp. 200 ribu per bulan dengan berlangganan Astro yang dapat
menyaksikan sebuah liga sepakbola yang sering disebut sebagai paling kompetitif
dan atraktif di dunia tersebut. Mayoritas penggemar lainnya akan hanya bisa
mendengarkan cuplikan beritanya, karena satu alasan sederhana: tarif
berlangganan itu terlalu tinggi untuk kondisi ekonomi mereka yang memang sangat
terbatas.
Namun tentu saja, yang mengeluh bukan hanya kaum
miskin. Isu ini juga diangkat oleh para pengelola lembaga penyiaran
berlangganan pesaing Astro yang kehilangan salah satu program unggulan mereka.
Yang dikuatirkan, monopoli di tangan Astro akan merebut pangsa pasar yang
jumlahnya sudah sangat terbatas .
Dalam studi kasus monopoli siaran liga Inggris yang
dilakukan oleh Astro TV banyak pasal yang bisa dikaitkan atau dikenakan, dalam
pasal 19 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa :
menolak dan
atau menghalangai pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan atau mematikan usaha pesaingnya di
pasar yang bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Ada dua aspek tentang penyiaran Liga Inggris, yaitu
ada hak publik dan sisi keadilan berbisnis. Hak publik harus segera
dikembalikan ke publik. Masyarakat tidak mau tahu mengenai tender internasional
hak siar Liga Inggris yang dimenangkan oleh ESPN Star Sport, dan untuk Indonesia
hak siar tersebut dipegang hanya oleh Astro. Masyarakat hanya mengharapkan
mereka bisa melihat siaran Liga Inggris dengan mudah dan gratis di TV mana pun.
Mengenai aspek kedua terkait Liga Inggris, adalah dari sisi keadilan berbisnis.
Hal inilah yang akan dibawa dan diselesaikan ke KPPU (Komisi Pengawas
Persaingan Usaha).
4.
PERSEKONGKOLAN
Berdasarkan
pasal 22 UU No 5 Tahun 1999, persekongkolan, bahwa pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain unyuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pelaku
usaha juga dilarang bersekongkol demi untuk emndapatkan informasi kegiatan
usaha orang lain yang diklasifikasikan menjadi rahasia perusahaan. Tentu juga
pelaku usaha juga dilarang menghambat proses produksi atau pemasaran dari
pelaku usaha lain.
Contoh
kasus:
Pada kesempatan ini,
saya akan membahas mengenai persekongkolan tender pengadaan bangkalan sapi
impor di Dinas Peternakan Jawa Timur. Perkara ini berawal dari laporan yang
menyampaikan terdapat pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999 yaitu indikasi
persekongkolan tender antara Dinas Peternakan Jawa Timur, panitia tender serta
peserta tender yaitu Koperasi Pribumi Jawa Timur (KOPI Jatim) dalam pengadaan
bangkalan sapi impor. Setelah dinyatakan laporan tersebut lengkap dan jelas
(sebagaimana telah diuraikan pada artikel terdahulu), laporan tersebut masuk ke
dalam tahap penanganan perkara dengan dilakukannya pemeriksaan pendahuluan,
pemeriksaan lanjutan serta penyelidikan lapangan.
Dari
pemeriksaan terungkap bahwa telah terjadi persekongkolan dan atau kerjasam
anatar KOPI Jatim dengan Panitia Tender dan atau pihak yang berhubungan dengan
Panitia Tender yaitu dalam hal ini Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur.
Persekongkolan dan atau kerjasama tersebut terjadi dalam mengatur, menentukan,
dan mengarahkan proses tender untuk kepentingan KOPI Jatim melalui perlakuan
eksklusif (khusus) dan keringanan persyaratan tender terhadap KOPI Jatim yang
berbeda dengan peserta tender yang lain.
Berdasarkan
fakta-fakta yang didapat, KPPU memutuskan:
1. Menyatakan
KOPI Jatim telah melanggar ketentuan pasal 22 UU No. 5/1999 karena melakukan
persekongkolan tender dengan pihak lain yaitu Kepala Dinas Peternakan Jawa
Timur dan Ketua Panitia Tender dalam mengatur penentuan pemenang tender dalam
pengadaan bangkalan sapi impor dari Australia dalam proyek pembangunan dan
Pembinaan Peternakan di Kabupaten/Kota se-Jawa Timur Tahun Anggaran 2000
2. Melarang
KOPI Jatim untuk mengikuti kegiatan pengadaan sapi bangkalan atau kegiatan
serupa di jawa Timur dan atau wilayah Republik Indonesia selama dipimpin oleh
pengurus yang pada saat pembacaan Putusan ini masih menjabat untuk kurun waktu
2 tahun terhitung sejak tanggal putusan dibacakan.
3. menyarankan
gubernur Jawa Timur sebagai atasa langsung Kepala Dinas Peternakan Jawa Timur
dan Ketua Panitia Tender untuk mengambil tindakan administratif sehubungan
dengan keterlibatan keduanya dalam pelanggaran pasal 22 UU No. 5/1999.
Demikian contoh kasus yang telah diputusakan KPPU mengenai perjanjian yang dilarang.
Demikian contoh kasus yang telah diputusakan KPPU mengenai perjanjian yang dilarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar